Bukan Guru yang Terbuang

×

 Bukan Guru yang Terbuang

Bagikan berita
Foto  Bukan Guru yang Terbuang
Foto  Bukan Guru yang Terbuang

gusnaldiOleh : Gusnaldi

Setiap daerah pasti punya guru hebat. Guru yang memiliki prestasi gemilang, bertalenta dan sering menerima penghargaan. Tapi sayang, keberadaan mereka masih menumpuk di sekolah-sekolah pusat kota. Mengajar di sekolah yang selama ini terbilang sarat prestasi dan menjadi favorit orangtua untuk menyekolahkan anaknya dan tentu juga menjadi kebanggaan daerah bersangkutan.Hari ini kita kembali bicara tentang akses pemerataan dan pendidikan yang berkeadilan. Akan halnya sejak berpuluh tahun lalu, topik yang sama dianggap urgen untuk diperbincangkan karena kesenjangan pendidikan itu masih terjadi. Memang, tak perlu ada kata lelah untuk mengurus anak negeri ini agar mereka kelak menjadi anak pintar, memunculkan SDM yang berdaya saing di mata dunia.

Semua elemen di jagad pertiwi ini, rindu pendidikan bermutu. Terlebih Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tak peduli hujan, panas atau dalam badai sekalipun, kontan instansi yang satu ini bakal terus bekerja keras memperlebar akses pendidikan hingga ke daerah terpencil, melahirkan berbagai kebijakan guna menggapai pendidikan yang bermutu.Sekarang kita bersepakat saja, bawa salah satu ketimpangan mutu pendidikan itu karena tidak terjadinya pemerataan guru berkualitas.  Padahal, Indonesia sebenarnya banyak memiliki guru-guru hebat, kepala sekolah hebat, tapi masih menumpuk di sekolah-sekolah favorit di perkotaan.

Yang terjadi selama ini, bila guru yang sudah dianggap hebat, pintar, lalu dipindahkan atau disebar ke sekolah di kampung-kampung, maka dunia pendidikan di daerah bersangkutan pun seperti ‘terguncang’ karena kebijakan tersebut. Embel-embel pegawai atau guru ‘yang terbuang’ hingga label pembunuhan karakter, sering menjadi gunjingan akibat kebijakan dimaksud. Bahkan yang luar biasa, persoalan bisa menyerempat hingga ke ruang politik, entah karena tidak mendukung sang kepala daerah saat ini, ketika masa pencalonan atau sebab politis lainnya.Salah satunya, inilah yang masih menjadi persoalan pelik saat ini. Tidak mudah memindahkan guru berprestasi ke daerah terpencil. Padahal, sejak lama, pemerintah pusat melalui Kemdikbud telah lelah bicara soal pemerataan guru-guru ini, yang muaranya secara berangsur-angsur tentu demi tercapainya pemerataan mutu pendidikan.

Termasuk program strategis Kemdikbud saat ini, yang salah satu agenda besarnya adalah memperlebar akses pemerataan menuju pendidikan yang berkeadilan. Namun demikian, sekalipun seorang Menteri Muhajir Effendy telah berbuih-buih mulutnya bicara soal pentingnya menyebar guru-guru hebat ke daerah-daerah tersuruk, tapi tanpa diiringi dengan sikap tegas kebijakan bupati/walikota, kiranya mustahil program pemerataan dimaksud bisa berjalan baik.Ketegasan Kepala Daerah

Kunci pencapaian perluasan akses pendidikan itu, salah satunya ada di tangan kepala daerah. Termasuk menyebar guru-guru ke daerah terpencil. Agar guru-guru dan kepala sekolah berprestasi itu tidak hanya terkonsentrasi di sejumlah sekolah favorit, tentu perlu menyebar mereka ke sekolah lain, dan ini membutuhkan tindakan tegas dari seorang kepala daerah.Kebijakan memutasi guru, kepala sekolah, terutama setingkat SD dan SLTP, saat ini masih ada di tangan seorang bupati atau walikota bersama dinas terkait tentunya. Sepanjang sesuai prosedur, tidak menyalahi aturan, bupati/walikota harus berani menempatkan guru-guru berprestasi itu di sekolah-sekolah di perkampungan yang memang membutuhkan kepintaran mereka. Perlu dicatat, kebijakan ini bukan sebuah sikap melecehkan kepintaran mereka, tidak juga untuk membunuh kreativitas guru bersangkutan, tapi semuanya demi melahirkan generasi yang berkualitas. Tak penting, apakah mereka sekolah di perkotaan atau daerah pinggiran.

Sementara mulai 2017 ini, berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka tanggung jawab pendidikan setingkat SMA dan SMK berada di bawah naungan pemerintah provinsi. Seyogyanya, ini juga akan memudahkan seorang gubernur bersama dinas terkait untuk menyebar guru-guru berprestasi ke berbagai kabupaten/kota di daerahnya.Alih kewenangan SMA/SMK ini, menurut Pengurus Dewan Pendidikan Sumbar Duski Samad, kiranya perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh kepala daerah kabupaten/kota dan provinsi, karena ini terkait langsung dengan mutu pendidikan dan terjaminnya proses belajar mengajar. Masalah akan menjadi rumit dan komplek, katanya, ketika kondisi ini diikuti pula oleh kepentingan sesaat yang tak dapat dikategorikan sebagai sebuah proses pendidikan.

Ya, betapa tidak, banyak kepala sekolah dan guru SMA dan SMK yang galau dengan pemindahan kewenangan ini. Entah bayangan akan kehilangan jabatan, terlempar mengajar ke kampung-kampung atau takut tunjangan daerah akan berkurang. Fenomena ini secara psikologis di satu sisi, bisa saja menjadi sebuah pembenaran. Tapi di sisi lain, sebagai guru yang saat ini sudah menyandang label Aparatur Sipil Negara (ASN), misalnya, seyogyanya pengabdian mereka tak boleh bersekat-sekat karena batas wilayah. Sebagai abdi negara, jangan enaknya mau sendiri, mengajar atau memimpin menjadi kepala sekolah itu hanya di sekolah gagah yang ada di pusat kota saja.Yang jelas, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, tentu sudah memiliki data, siapa-siapa saja guru-guru yang dikategorikan berprestasi, jumlah guru di setiap sekolah, mana sekolah yang masih kekurangan guru hingga mana pula sekolah yang membutuhkan sentuhan guru hebat atau kepala sekolah hebat untuk mengangkat mutu lulusan sekolah bersangkutan.  Kini, tinggal ketegasan dari kepala daerah itu sendiri.

Komitmen untuk MengabdiMenyebar guru-guru berprestasi, yang selama ini mereka masih terkosentrasi di pusat kota atau sekolah-sekolah favorit, baik untuk jenjang SD, SMP hingga SLTA, diyakini tidak akan mengurangi tenaga berkualitas di sekolah-sekolah yang selama ini sudah rancak tersebut. Tidak akan hancur pula label sekolah hebat yang telah disandang selama ini saat guru di sekolah bersangkutan ‘dicopot’ untuk mengabdi di daerah-daerah yang justru sangat membutuhkan jasa mereka.

Sebaliknya, label guru hebat saja tak cukup, bila mereka tak punya jiwa pengabdian. Dipindahkan, lalu mengomel-omel, mendongkol, menyalahkan kepala dinas atau kepala daerah atas kebijakan tersebut, jangan harap mereka bisa memberikan yang terbaik di tempat mengajar mereka yang baru.Memang, tak akan mudah bagi guru yang selama ini pergi sekolah, meluncur dengan mobil rancak, yang bisa saja didapat karena tunjangan sertifikasi, sementara bila di sekolah yang baru tak bisa lagi pakai mobil, dan kalaupun masih bisa, diyakini pula mobil mereka akan kotor bermandikan lumpur jalan perkampungan. Bila selama ini sampai di sekolah, ruang sudah ber-AC, mobiler lengkap, maka tentu sang guru akan canggung saat menemui sekolah dengan fasilitas minim, duduk di kursi guru yang reot.

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini