Buyuang Menanti Uluran Tangan Dermawan

×

Buyuang Menanti Uluran Tangan Dermawan

Bagikan berita
Buyuang Menanti Uluran Tangan Dermawan
Buyuang Menanti Uluran Tangan Dermawan

[caption id="attachment_47929" align="alignnone" width="659"]Buyung, warga Kampung Jembatan Panjang, Jorong Sungai Pandahan II, Nagari Sundata Sundata, Kecamatan Lubuk Sikaping yang berharap belas kasihan warga karena ia menderita struk. (Chandra Firman) Buyung, warga Kampung Jembatan Panjang, Jorong Sungai Pandahan II, Nagari Sundata Sundata, Kecamatan Lubuk Sikaping yang berharap belas kasihan warga karena ia menderita stroke. (Chandra Firman)[/caption]LUBUK SIKAPING -Matahari mulai beranjak tinggi, namun Buyuang masih saja duduk. Sendiri, di sebuah pondok reot berukuran sekitar 3x4,5 meter. Tatapannya kosong, sesekali dilayangkannya tatapan tersebut ke dinding pondok. Di salah satu dinding pondok tertulis ‘By Darman Arpi, Kp JP 1-1-1965 menunggui rumah ini 18-9-2015 status duda mengidap penyakit asam urat’. Tidak begitu banyak isi di dalam pondok itu. Hanya sebuah kasur lusuh, dan gallon air.

“Orang memanggil saya Buyuang, namun nama saya sebenarnya Darman. Arpi adalah singkatan dari Anak Rang Piliang. Saya lahir 1 Janauri 1965 di kampung ini, Kampuang Jembatan Panjang. Saya menunggui pondok ini sejak 18 Agustus 2015 lalu. Dimana saat itu penyakit asam urat baru mulai menggrogoti tubuh ini,” kata Buyuang, Kamis (12/1).Di bahu Buyuang, tersandar sebuah tongkat kayu kecil. Benda yang sangat berharga bagi Buyung. Sebab, sudah satu tahun lebih tongkat kayu itu menemani kemana ia pergi. Menopang tubuhnya yang mulai rapuh saat hendak berdiri.

Namun akhir-akhir ini tongkat itu tak lagi dipergunakan, sebab penyakit asam urat yang berlanjut pada stroke yang dideritanya sudah bertambah parah. Ia tak bisa lagi berdiri meski sudah dibantu tongkat. Tangannyapun mulai kaku.“Waktu awal-awal terjangkit saya masih bisa berdiri meski ditopang tongkat. Tapi akhir-akhir ini semakin parah. Saya tidak mampu lagi berdiri. Kemana-mana harus merangkak,” kata Buyuang.

Sejak didera penyakit yang semakin parah, hidup Buyuang kini bergantung dari belasan kasih orang. Makan kalaulah ada masyarakat yang memberinya nasi. Minum kalaulah ada masyarakat yang membelikannya air galon atau air minum kemasan.Kepada awak media, Buyuang bercerita sebelum kondisinya serapuh sekarang, ia pernah menjalani hidup seperti pemuda atau laki-laki dewasa lainnya. Merantau layaknya pemuda minang. Punya keluarga bahkan punya istri. Ia menikah pada 2005 lalu dan tidak dikaruniai anak, hingga pernikahannya kandas di 2009.

“Setelah bercerai, saya tinggal di rumah kakak. Akan tetapi seminggu sebelum lebaran 2015 lalu, tiba-tiba saya didera penyakit asam urat. Semenjak itulah kondisi saya semakin parah. Pernah berobat, tapi karena tidak ada biaya, proses berobatpun terputus hingga sekarang. Makan dan minum kalaulah ada yang memberi nasi dan air. Kalau tidak, saya terpaksa puasa atau hanya meminum air mineral saja. Hanya kakak sepupu dan kemenakan yang masih menjenguk, tapi itu tidaklah rutin sebab mereka juga kekurangan,” jelas Buyuang.Diakui Buyuang, tidak begitu banyak aktivitas yang bisa dilakukannya. Hanya sebatas mencuci di aliran kali kecil di samping pondok, memasak air dan duduk. “Kalau pagi saat matahari mulai muncul biasanya saya akan merangkak di tepi jalan ini. Berharap penyakit ini bisa berkurang. Setelah itu saya duduk di depan pondok dan menunggu belas kasihan warga,” kata Buyung.

Ironisnya saat dirinya meminta pertolongan, tidak ada yang cepat merespon ‘teriakan’ Buyuang.Hanya dua yang diharapkan buyung, biaya untuk berobat dan tongkat berkaki empat.

"Biaya untuk berobat atau makan dan alat bantu jalan berkaki empat untuk lansia. Biar saya bisa tetap beraktivitas. Tidak lagi hanya menunggu belas kasihan warga. Hanya itu yang saya harapkan dari pemerintah," tutup Buyuang sembari menyeka air matanya. (candra)

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini