Indonesiaku

×

Indonesiaku

Bagikan berita
Foto Indonesiaku
Foto Indonesiaku

Khairul JasmiOleh: Khairul Jasmi

Politik mengatur ekonomi, kata penyair Bertolt Bracht dari Jerman, tapi kata, Jack Weatherford, penulis buku The History of Money, lebih kurang, politik salah satu alat yang dipakai "uang" untuk membangun dunia sertaperadaban.

***Politik, demokrasi dan komunikasi era telepon pintar sekarang, menurut saya memang digerakkan oleh uang dan untuk uang. Jika sedikit saja menyimpang akan muncul masalah. Uang sedang bekerja dengan hebat untuk semua hal, tapi tidak (belum) mampu menembus langit-langit kaca keyakinan. Agama.

Memang kita saat ini sedang candu berdemokrasi. Sebagian menikmatinya bak anak-anak dibawa ke pasar malam, semua mau dibelinya. Sebagian lain seperti orang bersepatu baru, kemari berjalan saja, akhirnya tumit sakit, karena "digigitnya".Sisanya umpama merenda taplak meja sambil mengasuh anak, waktu habis, renda tak sudah-sudah. Masih tersisa cukup banyak, mereka memelihara demokrasi, seperti merawat burung merpati, jinak makan di tangan.

Sementara itu 100 juta orang pengguna telepon genggam, menghabiskan waktunya dua jam sehari memperkaya operator. Dalam dua jam itu mereka menjadi ahli demokrasi, ahli perang, ahli agama dan ahli apa saja. Juga ada sebagai penikmat yang pasif.Pada jam yang sama ekonomi sedang menggeliat di pasar, uang terbang bagai kupu-kupu baik di dunia nyata maupun di dunia nirkabel. Di sawah atau gedung parlemen. Berdasi atau bercelana pendek, sama saja, hasilnya yang berbeda.

Demokrasi tak bisa ditanak, tapi perlu. Tak ada bangsa di dunia tanpa politik tanpa pahlawan dan pahlawan kesiangan, tapi ada tanpa demokrasi. Buah demokrasi di Indonesia ada yang masak di batang, ada yang dikarbit.Rasanya beda, karena kualitasnya tidak sama. Kalaulah kita pernah hadir di tengah diskusi pendekar-pendekar politik dan demokrasi, maka seolah-olah besok negeri ini selesai atau hancur.

Nyatanya tak begitu, sebab demokrasi lebih rumit dari jalan raya yang diisi 70 juta motor, silang-siur, hilir mudik, pakai lampu merah atau tidak, ada marka atau belum, semua melaju dengan beban masing-masing.Demokrasi Indonesia sedang bergerak dalam kecepatan tinggi, dengan umbul-umbul yang meriah. Ramai, seramai orang berkumpul karena terkejut melihat kerumunan dekat lokasi kecelakaan beruntun. Demokrasi kita juga diayun-ayun oleh telunjuk. Pura-pura terkejut lalu menunjuk-nunjuk ke langit, maka orang lain akan terkejut dan menengadah pula. Satu persatu kemudian jadi ramai. Orang melihat langit, dia melihat pula, entah apa yang dilihat.

Petani tidak demikian, mereka kehabisan waktu untuk bekerja di ladang, membeli pupuk, racun, menjual hasil panen ke pasar. Laba nikmatilah, rugi tanggung sendiri, petani dan pasar terus-menerus membangun perabadan di tengah-tengah rakyat banyak, sejak berabad-abad lampau.Bangun tiap pagi, secangkir kopi dan sepotong kue di teras depan rumah minimalis, betapa nikmatnya. Itu buah dari rasa nyaman yang tercipta karena politik. Uang untuk membelinya dari gaji dan pendapatan. Uang itu hasil kerja roda ekonomi.

Kita orang Sumbar, sering ke Malaysia. Di Malaysia ekonominya dibina lebih dulu, oleh kita dinding rumah sebelah depan dicat mengkilat. Rancak di labuah, di dalam berantakan. Lagak perlente tapi dengan baju yang dipinjamkan orang. Sesekali disewa. Kebutuhan hidup tak sebanding dengan upaya banting tulang.Tulang dibanting tapi koruptor memancing dalam belanga, kini belanganya diperebutkan pula. Lebuh atau jalan raya sesungguhnya di Indonesia nyaris apa adanya, seperti juga kehidupan sehari-hari. Kalau diaspal ya licin tapi bergelombang. Licin namun sempit. Lapang selalu macet. Mau dibuat jalan baru silang-menyilang, uang tak cukup.

Kita perlu berhutang, jika tak berhutang, dengan apa dibangun negeri nan indah ini yang ke Asia "tidak," ke Australia apalagi. Yang penduduknya nyaris tak kenal secara mendalam lima pulau besarnya, apalagi negeri-negeri di sudut dapur yaitu yang menjuntai-juntai dari Malaysia ke atas sana.Uang pajak banyak, namun tak terpungut, bahkan ada yang terima suap. Terakhir Rp1,9 miliar, ditangkap KPK. Ini namanya pengkhianatan intelektual.

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini