Mengembalikan Marwah JHT

×

Mengembalikan Marwah JHT

Bagikan berita
Mengembalikan Marwah JHT
Mengembalikan Marwah JHT

gusnaldiGusnaldi Saman

Ketika pikiran masih dibebani pemenuhan kebutuhan keuangan, jangan harap Anda bisa menikmati indahnya masa pensiun. Jikapun anak dan keluarga lainnya kelak bisa diandalkan untuk menopang hidup, mungkin, ini tetap saja terasa kurang bijak. Alangkah baiknya tidak membebani orang lain, karena sejak dini (usia produktif), kita telah punya perencanaan matang agar bisa mandiri secara finansial, saat hari tua tiba. Begitulah!Tidak hanya negara, pihak swasta pun sesungguhnya banyak yang peduli terhadap perlindungan hari tua warga di negeri ini. Sebut saja pihak perbankan, asuransi dan lembaga keuangan lainnya, berlomba-lomba menawarkan berbagai produk yang pada intinya dapat dinikmati kelak ketika tak lagi bekerja. Dana yang ditabung, premi yang dibayarkan, pada akhirnya nanti dapat ditarik kembali ketika masuk masa pensiun atau tidak bekerja lagi.

Begitu juga dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang punya program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Keduanya merupakan produk senyawa yang pada intinya memberikan jaminan bagi pekerja saat tak produktif lagi. Betapa hebatnya kedua program ini, yang menginginkan para pekerja di Indonesia bisa menuai masa-masa indahnya saat masa tua tiba tanpa harus membebani orang lain.Namun demikian, perjalanan program JHT yang sejak bertahun-tahun berjalan mulus jauh sebelum lahirnya program JP, ternyata dua tahun terakhir justru menjadi ‘seksi’ dibicarakan. Menuai protes dan tuntutan dari pekerja hingga kemudian berujung lahirnya Permenaker No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT, yang memungkinkan dana JHT dapat dicairkan karena berhenti bekerja atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Maka sejak 1 September 2015, berbondong-bondonglah para pekerja mencairkan JHT tanpa harus menunggu usia 56 tahun.

Seperti diketahui, sebelumnya dalam PP Nomor 46 Tahun 2015 disebutkan, manfaat JHT  diberikan kepada peserta pada saat memasuki usia pensiun. Sementara bagi peserta yang terkena PHK atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun, harus menunggu dulu saat peserta mencapai usia 56 tahun. Inilah yang kemudian menjadi polemik, dianggap merugikan pekerja karena harus menunggu dalam jangka waktu lama.Sementara manfaat JHT lain, sebelum mencapai usia 56 tahun dapat diambil sebagian jika mencapai kepesertaan 10 tahun dengan ketentuan, diambil maksimal 10 persen dari total saldo sebagai persiapan usia pensiun atau diambil maksimal 30 persen dari total saldo untuk uang perumahan.

Menuai Dini JHTBerlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT yang isinya pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah tidak bekerja atau sebulan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), kontan menjadi faktor utama meningkatnya permintaan klaim JHT di hampir seluruh kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan di Tanah Air. Betapa tidak, per Juli 2016 saja, klaim yang dibayarkan pihak BPJS Ketenagakerjaan telah mencapai Rp11,59 triliun dari sekitar 1,4 juta kasus.

Menurut Direktur Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan, Naufal Mahfudz, seperti dikutip  www.koran-jakarta.com, klaim terbesar berasal dari Jaminan Hari Tua (JHT) yang telah mencapai Rp10,80 triliun dari 1,34 juta kasus. Terkait hal ini, dia mengingatkan kepada peserta yang sudah tidak bekerja lagi atau di PHK untuk tidak tergesa-gesa mencairkan JHT-nya. Sebab, dana JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan akan terus berkembang atau meningkat jumlahnya. Bahkan hasil investasinya jauh lebih besar dibandingkan dengan perbankan.Bahkan hanya berselang sebulan, hingga Agustus 2016, sudah tercatat sekitar 1,6 juta pekerja menarik dana JHT, hingga total dana yang ditarik mencapai angka Rp13 triliun. Ironisnya, 85 persen peserta di antaranya merupakan usia produktif yakni 20-35 tahun.

Kalau di usia muda jaminan itu diambil, maka tujuan negara memberikan JHT tidaklah tercapai. Padahal, menurut Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto, seperti dikutip laman www.tempo.co, hampir seluruh negara di dunia tidak mengizinkan pencairan JHT, kecuali pekerja tersebut meninggal atau pensiun.Ya, terpapar sudah bahwa lahirnya Permenaker No. 19 Tahun 2015, membuat JHT yang seyogyanya untuk hari tua tapi justru telah dipanen lebih dini. Melihat fenomena ini, banyak pihak kini justru mempertanyakan esensi dari program JHT itu sendiri.

Betapa tidak, seorang Ina Tanaya, pensiunan, yang mencurahkan hatinya pada sebuah citizen media terkenal, mengaku bergetar hatinya saat pekerja rame-rame memanen dini JHT saat mereka masih produktif. Dia memahami betul bakal terjadi kesulitan ekonomi ketika gelombang PHK melanda negeri ini.Menurutnya, untuk kebutuhan sehari-hari, mereka harus secepatnya ada uang karena ada yang tidak menerima pesangon karena jumlah yang terkena PHK itu mungkin bukan tenaga tetap.  Selain tidak dapat pesangon, mereka harus secepatnya mendapat uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari.  Bayangkan ada yang harus membayar biaya listrik dan air, kontrak rumah, bahkan ada yang perlu untuk biaya bensin dan makan untuk mencari kerja lagi. Namun, di sisi bersamaan, dia menyebutkan, betapa lebih mengerikan lagi apabila jumlah pekerja yang sudah mencairkan dana JHT itu, dananya terpakai habis untuk kebutuhan mereka.  Sayang sekali program yang begitu bagus untuk jaminan hari tua, harus berakhir pada masa muda ketika masih produktif.

Memang berat rasanya menunggu JHT sampai usia 56 tahun. Tetapi ketika berhasil ditunggu, hal itu jelas menjadi keuntungan, di usia yang sudah tidak produktif lagi. “Kita  masih memiliki uang yang dapat dipakai untuk kebutuhan yang memang masih cukup besar di usia senja. Saya sudah merasakan,” tulis Ina Tanaya.Marwah JHT

Terhidang sudah, betapa banyaknya pekerja muda yang mencairkan saldo JHT-nya disaat usia mereka masih produktif. Namun demikian, bila ingin mengembalikan marwah atau esensi dari JHT itu sendiri, menurut saya, perlu dikaji lagi regulasi Permenaker No.19 tahun 2015 tersebut. Soalnya, JHT yang seyogyanya adalah tabungan untuk kesejahteraan di hari tua, kini justru dimanfaatkan lebih dini.Evaluasi mesti segera dilakukan. Gelombang tuntutan dari pekerja atau serikat pekerja sebelum Permenaker itu lahir, bisa saja muncul karena pemikiran instan dan kekhawatiran hilangnya saldo JHT mereka, karena tidak atau belum bekerja lagi. Padahal, sampai kapan pun, uang JHT tidak akan hangus bahkan uang tersebut akan terus berkembang karena setiap tahun ada bunga saldo yang cukup besar.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini