Perempuan Minangkabau di Pentas Nasional 

×

Perempuan Minangkabau di Pentas Nasional 

Bagikan berita
Perempuan Minangkabau di Pentas Nasional 
Perempuan Minangkabau di Pentas Nasional 

Oleh; Zusneli Zubir, Fungsional peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatra Barat[caption id="attachment_38003" align="alignnone" width="616"]Perempuan dengan Pakaian Adat Minang berfoto di depan rumah gadang. Sumber: www.kitlv.nl. Perempuan dengan Pakaian Adat Minang berfoto di depan rumah gadang. (sumber: www.kitlv.nl)[/caption]

Perempuan di Alam MinangkabauBicara perempuan di Sumatera Barat, tidak terpisah dari ranah adat Minangkabau itu sendiri. Keberadaan perempuan Minang, dinarasikan dengan indah dalam mamang, “Di Minangkabau, perempuan dituah dimuliakan. Bangsa diambil dari perempuan. Bila tidak ada anak perempuan, alamat putus keturunan.”.

Penekanan kalimat di atas, menandakan perempuan Minang memiliki peran sentral dalam keluarga, suku, bahkan bernegara. Tidak heran, bila historiografi Minangkabau, meng-analogikan perempuan dalam sosok Bundo Kanduang. (Nasrun, 1971: 65).Lembaran sejarah nasional, memang tidak menyediakan porsi untuk tokoh perempuan Minang.  Rohana Kudus, Rahmah el-Yunusiah, Rasuna Said, Siti Manggopoh dan lainnya,  masih ‘kalah’ harum dengan sosok Kartini yang begitu diagung-agungkan dalam historiografi kolonial.

 Namun, ketika perhatian tertuju pada narasi sejarah lokal, kesadaran kita akan tertuju pada imaji “sebelum Kartini berpikir, perempuan Minang sudah berbuat!”. Bila ditelisik lebih jauh, persoalan yang dihadapi Kartini, tidak lebih sama dengan yang dihadapi perempuan Minang.

Kungkungan adat, pembatasan gerak perempuan, urusan domestik merupakan sebab terkungkungnya perempuan dalam sangkar emas. Jiwa zaman Kolonial hanya memberi kebebasan pada lelaki, sembari membatasi hak perempuan, yang menuntut persamaan. (Graves, 2007).Ketika Siti Manggopoh memprotes belasting, Rahmah el-Yunussiah menuntut perempuan bersekolah,  dan Rasuna Said membuka kesadaran politik, sebagian kaum hawa mulai terbangun dari tidur panjangnya.

Perempuan Minang masa itu, akhirnya sadar.  Ia bukan sekedar “pelaku” urusan domestik, namun juga harus mengambil peran yang sama dengan laki-laki. Lebih jauh Joan Scott (1988) menegaskan, perempuan tidak sekadar mendokumentasi kehidupannya, namun juga memetakan perubahan-perubahan posisi perempuan dari berbagai kelas sosial secara ekonomi, pendidikan, politik, dan lain-lain, dari kota, desa maupun negara bangsa.Demikianlah, ketika perempuan Minang hasil binaan sekolah itu, mulai terjun ke kancah nasional pada masa pergerakan kebangsaan. Dari tangan mereka kemudian berdiri Diniyah Putri, Pusat Kerajinan Amai Setia, organisasi Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan partai lokal PERMI.

Ketika memasuki masa pendudukan Jepang, beberapa kalangan menganggap gerakan perempuan Minang telah mati suri. Rupanya tidak. Catatan kecil menyebut, Rasuna Said mempelopori lahirnya Nippon Raya di Padang, kemudian dibubarkan Jepang. Sejarah lokal menarasikan, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. (Nata, 2005).Dalam situasi kelaparan, Rahmah memotivasi warga Padang Panjang, untuk menyisakan beras genggam setiap kali memasak. Kepada murid-muridnya, ia meminta seluruh taplak meja dan kain pintu Diniyah Putri, disumbangkan untuk masyarakat. Demikianlah, perempuan Minang yang dinarasikan sebagai limpapeh rumah nan gadang, ternyata mempunyai potensi besar, ketika ia membangun kesadaran sejarah kaumnya. Bagaimana gerakan kesadaran yang dibangun Rohana Kudus, Rahmah El-Yunusiah, Rasuna Said untuk perempuan? Seluruh pertanyaan itu akan terjawab dalam artikel berikutnya. (*)

  

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini