Globe Berwarna Merah Darah, Kota-kota Dunia Sunyi Senyap

×

Globe Berwarna Merah Darah, Kota-kota Dunia Sunyi Senyap

Bagikan berita
Foto Globe Berwarna Merah Darah, Kota-kota Dunia Sunyi Senyap
Foto Globe Berwarna Merah Darah, Kota-kota Dunia Sunyi Senyap
Khairul Jasmi Sejarah buruk sedang memegang pena. Sampai akhir Maret 2020, corona menelan korban yang sudah jadi statistik: 789.281 kasus di 200 negara dengan 166.441 sembuh dan 37.578 orang meninggal.

-----------------

Globe telah berwarna merah darah dan kota-kota penting yang sibuk luar biasa, kini sunyi senyap, seolah dunia baru dikembangkan. Di Itali, bagai kota mati, London, Lisabon, Tokyo dan seterusnya semua bagai dalam film. Tak ada orang, jikapun ada satu dua, ia berjalan dalam diam. Sebelah dunia terus menangis, sebelahnya bertengkar sesamanya. Sambil bertengkar menyalahkan pemerintah. Mereka teggelam dalam medsos dan jejaring komunikasi lainnya, tanpa berbuat apapun. Jangankan untuk orang, untuk dirinya saja tidak. Sepertinya Tuhan mulai membelokkan takdir dunia, meremukkan semua rencana dan menghempaskan ekonomi ke dinding kapitalisme. Dinding itu rubuh dan ekonomi, pingsan. Terbukti sekali lagi, “uang sendirian mengatur dunia.” Saat ini perusahaan-perusahaan kelas dunia sampai skala kecil kembali berhitung, melakukan pengetatan ikat pinggang. Memangkas belanja, anggaran di-freeze. Di Padang saja, sudah banyak yang mengeluh dengan apa beras akan dibeli. Uang di tangan tinggal untuk sehari. Jualan sudah tak bisa, sebab pasar sepi, sekolah tutup. Sopir angkutan kota, duduk sembari mengangkat satu kakinya ke bangku-bangku, merisaukan dirinya dan keadaan. Tak ada siapapun di kota ini yang benar-benar bisa berdiam di rumah, guna menghabiskan simpanan, jika ada, apalagi kalau tidak ada.  Keadaan kian memburuk, tak di sini, tapi di seluruh dunia. Menyelamatkan diri -------------------------------- Harusnya keluarga-keluarga, di kota yang paling besar sampai desa terkecil, memandang ke dalam, memeriksa sekoci. Situasi buruk, lambat-laun akan mendesak orang indivualistis. Tindak-tindakan kemanusiaan dan kebersamaan kemudian baru dibangun di atasnya. Semacam sekarang di Indonesia, perantau pulang, mudik. Mereka tak hendak berhari raya, tapi menyelamatkan diri dari wabah. Di kota, lambang kehebatan satu negara, keadaan kian memburuk. Mereka sudah tak bekerja, uang kost dan biaya hidup jalan terus. Imbauan dari kampung selalu datang, maka pulanglah mereka. Perantau itu, tak hendak membawa sakitnya, ia hanya menyelamatkan diri. Mereka bukan madar, bukan bodoh, tapi solusi apa yang telah mereka dapat, selain yang mereka cari sendiri? Satu bangsa harus ada rakyat, terotorial dan pemerintahan. Semuanya ada sekarang dan rakyat bergerak meninggalkan rakyat yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, dalam satu bangsa yang dibangun nenek moyangnya. Saatnya tidak saling menyalahkan, namun menukik pada urusan kemanusiaan. Malah yang terjadi, kita masih bertengkar kenapa tak boleh ke masjid. Otoritas tertinggi dalam agama, yaitu ulama baik sendiri-sendiri maupun melalui MUI, sudah menyatakan, wabah ini berbahaya dan sementara waktu di rumah saja beribadah. Akhirnya saya tahu, walau saya salah, problem tumbuh pada golongan kita dan akan melanyau golongan kita sendiri. Sekejap mata ---------------------- Dalam sekejap mata warna globe berubah menjadi merah darah. Kabar maut muncul dari mana saja. Dunia benar-benar sedang menangis. Air matanya berderai-derai. Sejak SMP saya suka membuat peta buta, sekarang, saya memandang peta tersebut tertegun, apa sesungguhnya yang sedang terjadi dunia, selain wabah corona itu? Manusia tidak siap menghadapi bencana, sehebat apapun bangsanya. Saya menyasikan sebuah video, di sebuah kota di Itali, warga yang “di rumah saja” mulai jenuh, ia muncul di balkon lalu mendendangkan sebuah lagu, sembari memukul panci. Yang lain muncul pula di balkon dan kemudian menjadi ramai. Nyanyian dalam suasana genting, bagai lagu kematian. Sementara jalan layang megah perkasa, sunyi senyap, seperti dibangun sia-sia belaka. Seorang warga Indonesia di Itali, ia keluar dari rumahnya dan merekam suasana. Hanya jalan dan mobil serta pagar-pagar yang kaku terlihat. Tak ada sesiapapun kecuali diaBerkeliling rumah, lalu masuk lagi ke rumahnya. Gambaran situasi sekejap mata dari kehidupan yang ceria, dari negara paling bahagia di dunia sekalipun sampai negara miskin, sama saja, tengkak menghadapi corona. Gagap, gugup dan karapiak panja. Itulah sebabnya, kita harus mengakhiri perdebatan. Tindak-tanduk ekonomi, kata kawan saya, Yosviandri, segera dihentikan dan diganti dengan tindakan sosial massal oleh pemerintah, oleh siapa saja yang punya, untuk membagi sembako kepada rakyat, secepat menghempaskan pintu mobil. Kalau bisa, sebab sekarang masih bisa. Andaikata ---------------- “Sejarah andaikata” bolehlah dimainkan sekarang, semacam proknosa masa depan satu negeri. Apa akibatnya pada ekonomi, pada kehidupan sosial, keamanan dan kehidupan beragama. Tak mungkin terus-menerus berhenti ke masjid, apalagi bekerja. Mustahil. Tak mungkin selamanya di rumah. Sekarang kita sadar, bukan pelaku start-up lagi yang hebat tapi dokter dan saintis. Dokter kita sekarang sedang lelah, seperti juga dokter di seluruh dunia. Jika ingin memberi salam takzim kepada mereka, sekaranglah saatnya. Kini pula terbukti untuk apa kantor bertingkat-tingkat jika bisa kerja di rumah. Terbukti pula, kita perlu orang lain, sebab manusia adala makhluk sosial. Terbukti pula, obat harus murah dan perlu dibuat massal, bukan dibisniskan semata. Profesi apa ke depan yang perlu, sebab dunia sedang dicuci, takdir sedang dibelokkan oleh Yang Maha Kuasa. Selama ini, sejauh apa kajian-kajian ilmiah tentang wabah, kajian keagamaan kita sejauh apa pula jika wabah menyerang dunia. Belum ada Lalu, pantaskan kita gila bertengkar ke bertengkar saja? Dan: Waktu terus berputar, pendulum, bandul yang digatung pada rantai, bergerak ke kiri dan ke kanan dalam bingkai jam, memberi kita kesempatan. Ketika sejarah baru ditulis, dengan pena ketakutan, uang terus bekerja sendirian. Seharusnya masa genting ini, adalah waktu yang sangat tepat kian dekat dengan Tuhan, bukan mengaku merasa dekat-Nya.* Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini