Ada Apa dengan Sumbar – A Rejoinder (AADS-2)

×

Ada Apa dengan Sumbar – A Rejoinder (AADS-2)

Bagikan berita
Foto Ada Apa dengan Sumbar – A Rejoinder (AADS-2)
Foto Ada Apa dengan Sumbar – A Rejoinder (AADS-2)

Oleh:  Zulfan TadjoeddinGubernur Sumat3ra Barat (Sumbar) dua periode (2010-2020) Irwan Prayitno menulis artikel berjudul “Orang Minang Tetap Hebat” di Harian Singgalang (23/8). Artikel itu merespon status Facebook saya yang berjudul  Ada Apa dengan Sumbar (AADS) yang kemudian dimuat di web hariansinggalang.co.id (15/8).

AADS mencoba menjelaskan mengapa Sumbar antipati terhadap Presiden Jokowi. Ada dua faktor primer: Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan hoaks. Disamping itu ada dua faktor sekunder: kebencian pada Soekarno dan Jokowi yang dinilai tidak memiliki “takah” untuk jadi presiden.Irwan membantah faktor PKS dengan argumen bahwa partai itu tidak pernah menang pemilu di Sumbar. Jawaban ini kurang tepat. Poinnya adalah soal PKS sebagai the ruling party di Sumbar, menguasai eksekutif di daerah, tetapi menjadi kekuatan oposisi di tingkat nasional. Jadi ada semacam ketidaksinkronan, sesuatu yang hanya terjadi di zaman Jokowi. Soal akses untuk pendanaan partai, kursi kabinet jauh lebih berharga dibanding posisi gubernur di daerah ber-APBD kecil. Kursi kabinet inilah yang tidak dimiliki PKS sejak 2014.

Oposisi jadi ada karena kita menganut sistem demokrasi majoritarian. Pemenang mendapatkan semua (winner takes all), yang kalah tidak kebagian, seperti yang diterapkan di Amerika, Inggris, Australia dan banyak negara lainnya.Disamping sistem majoritarian, ada model demokrasi “consociational”, seperti yang diusulkan oleh Arend Lijphart. Katanya, model ini cocok untuk masyarakat multietnis. Demokrasi “consociational” mengutamakan konsensus dan power-sharing. Biasanya melalui proses deliberasi yang alot dan lama. Model ini berjalan dengan baik di Belgia, Swiss dan Belanda.

Lebanon mencoba model consociational ini, tetapi tidak berhasil.  Kursi presiden dialokasikan untuk umat Kristen Maronite, posisi perdana menteri untuk kelompok Sunni, sementara kaum Syiah mendapatkan jabatan ketua parlemen. Sistem power-sharing itu merefleksikan komposisi penduduk Lebanon. Tetapi negara itu tak kunjung damai. Irak mencoba model yang sama sejak invasi Amerika tahun 2003, tetapi bernasib sama dengan Lebanon, selalu berkecamuk.Dulu, Presiden SBY sebenarnya mencoba melawan model demokrasi majoritarian yang secara formal kita anut. Semua ingin dia rangkul dan dia berhasil. Dia menganut prinsip “thousands friends, zero enemy.” Saat itu Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDIP) memang tidak mau masuk kabinet, tetapi Taufik Kiemas mendapatkan kursi Ketua MPR. Partai Gerinda tidak masuk kabinet SBY karena kabarnya persyaratan yang mereka ajukan terlalu tinggi.

Intinya SBY membuat koalisi besar dimana semua kekuatan politik mendapat bagian. Suka atau tidak, inilah resep kunci dari stabilitas politik dua periode pemerintahan SBY, sesuatu yang tidak dimiliki dan tidak dinikmati oleh pemerintahan Jokowi saat ini.Sejak transisi demokrasi tahun 1999, PKS selalu masuk kabinet. Islam politik selalu kebagian. Situasi berubah seratus delapan puluh derajat sejak tahun 2014. Disinilah awal polarisasi sosial dan politik yang kita saksikan sampai saat ini. Polarisasi itu sepertinya makin mengeras. Polarisasi itu memerlukan proses kanalisasi politik.  Dalam hal ini, sepertinya, Indonesia perlu menimbang kedua model demokrasi tersebut, “majoritarian” dan “consociational”, serta kemungkinan variasi dan modifikasinya.

Sejatinya, demokrasi adalah proses yang bersifat coba-coba, “trial and error”, tidak bisa di “copy and paste”. Setiap bangsa harus ber-ijtihad menemukan model yang terbaik untuk diri mereka, Indonesia bukanlah pengecualian. Mencari rujukan boleh, copy-paste jangan.Irwan juga membantah preposisi bahwa hoaks paling laris dikonsumsi di Sumbar, dengan argumen bahwa warga Sumbar lebih banyak menggunakan koran dan televisi sebagai sumber informasi politik berdasarkan data survei awal 2013 dan awal 2015.  Lalu Irwan menyimpulkan bahwa, “tidak mungkin hoaks dan fitnah tentang Jokowi paling laris dikonsumsi di Sumbar.”

Kesimpulan inipun terlihat lemah. Tidak jelas apa hubungan antara sumber informasi dari koran dan televisi dengan tingkat konsumsi hoaks. Data yang digunakan juga agak usang. Pertengahan tahun 2014, Tempo melaporkan bahwa mantan Ketua Umum Muhammadiyah asal Sumbar, Ahmad Syafii Maarif, mengunjungi sepuluh titik di Sumbar selama dua hari. Dia banyak menemui masyarakat yang menolak memilih Jokowi. Dia berkata, “perasaan saya mendidih” ketika mengetahui bahwa penyebar fitnah tersebut ada yang menggunakan fasilitas negara.Menjelang Pilpres 2014, di keluarga besar saya di kaki Singgalang beredar pernyataan retorik, “Cino ka dipiliah”, sebagai bentuk ekspresi antipati terhadap Jokowi. Jelas, ini adalah buah dari fitnah yang beredar luas. Kebetulan saya berada di kaki Singgalang saat hari pencoblosan Pilpres 2014.

Kita tahu bahwa hoaks dan fitnah beredar luas di group-group percakapan, mimbar-mimbar dan lapau-lapau. Dan ini memang terjadi di seluruh Indonesia, bukan hanya di Sumbar. Namun survey Saiful Mujani Research Centre (SMRC) pada Februari-Maret 2021 lalu menyediakan bukti empiris bahwa konsumsi hoaks relatif tinggi di Sumbar dibanding daerah lain di Indonesia. Survei ini menemukan bahwa persentase etnis Minangkabau yang tidak bersedia divaksin Covid adalah 43%, kedua tertinggi setelah suku Madura (53%). Sumber utama dari sikap anti vaksin adalah konsumsi hoaks.Sehingga, sanggahan Irwan atas tingginya konsumsi hoaks di Sumbar akan menjadi seperti burung onta yang menyembunyikan kepalanya ke timbunan pasir.

  

 

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini