Oleh: Zulfan TadjoeddinMegawati menyorot Sumbar saat memberi kata sambutan di sebuah webinar ulang tahun Bung Hatta, 12 Agustus lalu. Mungkin karena Bung Hatta berdarah Minang, berasal dari Bukittinggi, di webinar itu, saya lihat juga Kanda Hasril Chaniago sebagai salah satu pembicara.
Sorotan Ketua Umum PDIP itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Hatta secara pribadi. Sorotan itu lebih kepada situasi Sumbar akhir-akhir ini. Mengapa Sumbar “seperti itu”. Dia mengatakan sering di-bully, juga anaknya, Puan.Jangankan Mega dan Puan, Buya Syafii Maarif saja di-bully di Sumbar. Anak muda dari kampung saya di kaki Singgalang, yang kencing-nya saja belum tentu lurus, ikut mem-bully Buya.
Begitulah kita sekarang. Siapa saja kena. Entah itu Jokowi, Anies, apalagi Roy Suryo.Tidak Sesuai Selera
Sumbar memang menarik. Perlu terus dikenali. Penting untuk terus dijelaskan. Walau lahir dan besar di Sumbar, saya pun bingung. Selalu bertanya-tanya, apa masalahnya. Sepertinya, pangkal bala-nya adalah Jokowi. PDIP itu terbawa rendong saja.Sejak 2014, Sumbar sangat antipati kepada Jokowi, presiden dua periode. Bukan hanya antipati, bahkan sangat membenci. Dari 34 provinsi di Indonesia, suara Jokowi paling buncit di Sumbar. Selalu kalah telak. Tahun 2014, dia masih dapat 23% suara. Lima tahun kemudian, 2019, angkanya terjun bebas, hanya tersisa 13%.
Sumbar sangat antipati pada Jokowi dan PDIP. Jika karena Jokowi orang Jawa, presiden-presiden terdahulu juga orang Jawa. Sebutlah Soeharto dan SBY yang sangat digandrungi di Sumbar. Tahun 2005, PDIP malah ikut mendukung Gamawan Fauzi menjadi gubernur, mengalahkan calon PKS. Dulu masih ada anggota DPR PDIP dari Sumbar, sekarang nihil.Mengapa Sumbar antipati? Ada beberapa kemungkinan:
Pertama, PKS tidak ikut di gerbong Jokowi. Padahal PKS sudah berkuasa di Sumbar sejak tahun 2010, saat itu Jokowi masih Walikota Solo. PKS adalah oposisi abadi dari Jokowi. Sumbar adalah satu-satunya provinsi dimana PKS menang Pilgub tiga kali.Kedua, hoaks tentang Jokowi paling laris dikonsumsi di Sumbar. Merasuk ke kampung-kampung, ke lapau-lapau, sampai ke surau-surau. Bahkan sampai di lingkungan keluarga besar saya. Baik yang hanya lulusan sekolah menengah, sampai yang tamat S2. Kalau saya ceritakan, nauzubillah.Itulah dua faktor besarnya. Apakah dua sebab itu berkaitan? Entahlah. Saya tidak berani men-judge.Disamping itu, ada dua faktor sekunder.
Pertama, kebencian pada Soekarno. Ada dua sumber kebencian ini. Karena soal PRRI, Soekarno memerintahkan untuk membombardir Padang. Juga karena Hatta. Begitu mundur dari kursi Wapres, ia angkat kaki dari Istana Wakil Presiden di Merdeka Selatan. Ia memilih jadi orang biasa ketimbang terus- menerus bersilang jalan dengan Soekarno. Dua sumber itu mungkin berkaitan. Tetapi jangan lupa, Hatta tidak mendukung PRRI. Ia berulang kali mengingatkan Kolonel Ahmad Husein agar jangan memberontak.Kedua, karena Jokowi kurang memiliki “takah” sebagai presiden. Secara implisit, hal ini dikatakan sendiri oleh Irwan Prayitno, Gubernur Sumbar dua periode dari PKS. Orang Sumbar itu memang agak “rambang mato”. Suka pemimpin yang gagah. Inilah salah satu sebab mengapa Soeharto dan SBY yang memiliki “takah” sangat disukai di Sumbar.
Di bawah ini adalah foto “Surau Pinang” di kaki Singgalang. Surau saya sejak kecil sampai sekarang. Di surau inilah saya belajar sembahyang. Di surau ini, dulu saya sering mengumandangkan azan. Jika pulang kampung saya pasti sembayang berjamaah di surau tua ini.Subuh adalah suasana yang paling saya sukai, saat suhu sekitar 16-18 derajat. Suhu pagi hari daerah pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Suhu itu mirip-mirip dengan suhu saat musim gugur di Sydney.
Ada kolam ikan di depan surau. Kami menyebutnya Tabek Surau Pinang, sangat legendaris. Sebagaimana hal-nya anak-anak kampung lainnya, disitulah saya belajar berenang. Anak-anak saya terkekeh-kekeh ketika saya ceritakan soal ini.Di surau yang sangat saya rindukan itu, juga beredar berbagai macam hoaks. Saya saksi-nya.
Editor : Eriandi, S.Sos
