Agar Pattimura dan Imam Bonjol Tersenyum Bangga

×

Agar Pattimura dan Imam Bonjol Tersenyum Bangga

Sebarkan artikel ini

Oleh Eriandi

Andai saja Pattimura, Pangeran Antasari, Tuanku Imam Bonjol hingga Ir Soekarno tahu, mungkin mereka tidak rela gambarnya dipasang di uang kertas Indonesia. Uang kertas tidak jauh beda dengan tembok. Menjadi sarana untuk menyimpan nomor handphone, bahkan nomor togel. Lebih memiriskan, uang kertas di Indonesia dianggap cuma kertas biasa.

Tak ubahnya seperti kertas koran. Makin lama makin lecek. Bukan karena kualitas cetak atau bahan kertasnya, tapi perlakuan dari si empunya.

Agak mendingan kalau uang dengan pecahan Rp100 ribu atau Rp50 ribu, masih bisa disimpan di tempat yang nyaman seperti dompet. Akan tetapi, kalau pecahan Rp20 ribu dan nilai yang lebih rendah, biasanya terletak begitu sajadi dalam saku. Baru diterima langsung diremas-remas seperti gulungan bola kertas.

Padahal, bukan tanpa alasan Bank Indonesia memajang gambar para pahlawan di uang kertas. Bank Indonesia berharap dari wajah-wajah pahlawan yang ada di uang kertas, akan lahir semangat nasionalisme. Semangat menghargai jasa para pahlawan. Penghargaan itulah sebenarnya yang disasar Bank Indonesia. Uang kertas dihargai dengan pantas.

Sayangnya, kenyataan masih jauh dari harapan. Uang kertas dihargai tak pantas. Tak hanya pedagang ikan yang biasa menyimpan uang dengan kondisi basah-basah sehingga dalam waktu sekejap uang baru sekalipun menjelma menjadi uang yang mudah koyak. Masyarakat dari berbagai lapisan lainpun seperti sudah terbiasa tidak memperlakukan rupiah dengan selayaknya. Bahkan, pengurus koperasi atau bendahara kantor sering men-stapler uang yang menyebabkan bagian uang menjadi rusak.

Walaupun uang kertas dapat ditukar kembali dengan uang baru ke Bank Indonesia, tapi dengan begitu berarti kita telah menambah anggaran untuk pemusnahan uang. Pemerintah yang seharusnya bisa menghemat, malah harus mengalokasikan anggaran untuk pemusnahan uang lusuh atau Uang Tak Layak Edar (UTLE).

Sepanjang tahun 2014 saja, BI telah menghancurkan uang pecahan Rp2.000 sebanyak 1,339 miliar lembar. Jumlah itu setara dengan Rp2,678 triliun. Padahal, tahun sebelumnya, lembaran Rp2.000 yang dihancurkan hanya senilai 1,272 triliun rupiah.

Uang terbanyak lainnya yang dihancurkan adalah pecahan Rp5.000. Di tahun 2014, pecahan  bergambar Tuanku Imam Bonjol itu dimusnahkan sebanyak 1,051 miliar atau senilai Rp5,255 miliar. Dibandingkan tahun 2013, jumlah uang Rp5.000 yang dimusnahkan sebanyak 895 juta lembar.

Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, Eko Yulianto mengatakan, pemusnahan uang dilakukan setiap hari oleh BI. Jumlah uang yang beredar akan disesuaikan dengan uang yang dimusnahkan.

Baca Juga:  Telkomsel Berikan Perangkat Call Center CloudX dan Paket Society for Hospital bagi Tenaga Medis

Dari catatan BI, sepanjang 2014, sebanyak 5.195 miliar lembar uang kertas senilai Rp111,57 triliun dimusnahkan, naik empat persen dibanding tahun 2013 sebanyak 5,017 miliar lembar. Pecahan yang dihancurkan mulai dari Rp1.000 hingga Rp100.000. (viva.co.id, 5 Februari 2015)

Setiap tahun BI menghabiskan biaya cetak uang sekitar Rp3 triliun. Biaya cetak tersebut tentu saja termasuk untuk mengganti uang TLE yang dihancurkan. Belum lagi BI harus mengeluarkan biaya distribusi ke seluruh daerah di Indonesia.

Di sisi lain, masih banyak pula masyarakat yang tak tahu kalau uang lusuh dapat ditukarkan. Tak ayal, uang yang sudah rusak parah malah dibuang begitu saja di tong sampah. Padahal, Bank Indonesia masih menerima uang lusuh untuk ditukarkan asal uang rusak tersebut masih dikenali keasliannya dan ukuran uang sama dengan atau kurang dari 2/3 ukuran aslinya. Begitu juga untuk uang logam rupiah yang rusak masih bisa diganti asalkan ukurannya masih lebih dari separoh aslinya serta masih dikenali keasliannya.

Bagaimanapun, yang paling baik itu adalah menjaga uang rupiah dengan merawatnya secara baik. Apalagi, bagi yang sengaja merusak rupiah dapat berimplikasi pidana. Dalam Undang-Undang Mata Uang nomor 7 tahun 2011, ada larangan merusak uang. Di antaranya dalam Pasal 25 ayat 1 dinyatakan bahwa merusak, memotong, menghancurkan dan/atau mengubah rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol negara. Ancaman hukumannya di Pasal 35 ayat 1, yakni pidana kurungan paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak satu miliar rupiah.

Memperlakukan rupiah dengan baik merupakan salah satu cara membela negara tanpa senjata. Karena, rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan negara dan kebanggaan Indonesia. Dengan mencintai rupiah dan menggunakannya dengan selayaknya, kita sudah berkontribusi menjaga kedaulatan rupiah. Bila dibandingkan dengan dolar, nilainya dapat berkurang apabila kondisinya sudah rusak. Sementara rupiah, meski sudah lusuh dan kumal sekalipun tak berkurang nilainya.

Menjaga dan memperlakukan rupiah dengan baik juga merupakan salah satu bukti kecintaan pada rupiah di samping mendukung penggunaan rupiah di wilayah Indonesia.

Seperti diungkapkan Deputi Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia, Hermowo Koentoadji saat pelatihan wartawan ekonomi wilayah Sumbagteng yang diadakan BI di Bintan, Kepulauan Riau, 24 November 2015 lalu. Dikatakannya, BI telah mengeluarkan PBI nomor 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI sebagai upaya menuju rupiah yang berdaulat sekaligus menjaga stabilitas rupiah.