PADANG – Beberapa kali Nasrul Abit menyeka air mata. Wakil Gubernur Sumbar yang biasa tegas dan tegar ini akhirnya luluh. Setelah menyambut delapan jenazah warga, ia akhirnya memutuskan langsung ke Papua, di Bumi Cendrawasih tempat perantauan Minang kena musibah.
Seperti diketahui, Senin, 23 September 2019, Ranah Minang dirundung duka. Kabar mengejutkan datang dari Bumi Cendrawasih. Ribuan warga Minang yang selama ini mengadu nasib di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, menjadi korban keberingasan aksi massa yang datang dari gunung, yang belakangan disebut oleh Mabes Polri berasal dari kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Dalam tragedi kemanusiaan itu, sembilan perantau Minang meninggal dunia.
Dentuman suara pohon kayu yang tumbang ke jalan, kobaran api yang membumbung tinggi, teriakan beringas dari kelompok KNPB yang diselingi tangisan keras warga pendatang, menjadikan Ranah Wamena hari itu mencekam. Gelombang eksodus pun terjadi. Yang penting selamat dari amukan massa yang sama sekali tidak terkendali.
Kabar yang begitu cepat beredar di media sosial pun kemudian memancing reaksi masyarakat Sumatera Barat, baik yang berada di Ranah Minang maupun di tanah rantau. Kecaman demi kecaman tak terbendung. Emosi dan amarah kian tersulut ketika sejumlah foto maupun video yang memperlihatkan kondisi situasi keamanan dan korban berselancar tanpa bisa diredam. Minangkabau kala itu murka.
Pemrov Sumbar perlu mendapatkan data dan kondisi sebenarnya terhadap perantau Minang. Informasi akan dijadikan bahan pertimbangan untuk langkah kebijakan ke depannya, sekaligus meredam emosi warga Minang lain.

Usai menyambut kepulangan delapan jenazah korban tragedi kemanusiaan Wamena pada Kamis 26 September 2019 di Bandar Udara Internasional Minangkabau, Nasrul Abit berdiskusi dengan pimpinan daerah lain. Bersepakatlah, Pemprov Sumbar mengirimkan tim bersiap untuk segera bertolak ke Bumi Cendrawasih. Meski pada saat itu kondisi dan situasi belum kondusif, niat Nasrul Abit tak surut. Dengan perhitungan yang matang, Nasrul Abit memantapkan langkah kaki menuju Wamena.
Tepat pada 29 September 2019, Nasrul Abit bertolak ke Jayapura, Papua. Usai melihat kondisi pengungsi, rombongan bergerak ke Wamena. Di sana, ia melihat langsung situasi pasar Wamas yang ludes terbakar dan berkunjung ke posko pengungsian di Markas Komando Distrik Militer (Makodim) setempat. Kedatangan mantan Bupati Pesisir Selatan ini pun disambut haru oleh korban tragedi kemanusiaan. Bukan hanya yang berdarah Minangkabau, namun juga pengungsi dari Jawa dan Bugis.
Mereka sama sekali tak menyangka, Nasrul Abit nekat menembus zona bahaya untuk melihat keadaan para korban. Nasrul Abit pun dianggap satu-satunya kepala daerah yang berani mengambil risiko agar bisa bercengkrama dengan masyarakatnya di ranah konflik, meski nyawa taruhannya.
Selama disana, Nasrul Abit mencoba menenangkan para pengungsi, menguatkan mereka sekaligus menegaskan, kalau Pemerintah, terutama Pemerintah Sumatera Barat akan memgambil langkah konkrit untuk mengatasi persoalan ini. Nasrul Abit juga menjamin, akan memfasilitasi seluruh perantau Minang yang ingin kembali ke Kampung halama untuk sementara waktu.
Air Mata Tak Terbendung
Meski berusaha tegar, namun sisi sensitif dari seorang Nasrul Abit tak dapat disembunyikan. Matanya memerah, airmatanya pun menetes tak kala melihat kondisi dan mendengar langsung kesaksian warganya yang tengah dirundung duka. Sesekali, air mata itu ia seka dengan sapu tangan.