Terkait Pasar Ateh, Asraferi Sabri Tulis Surat Terbuka untuk Presiden RI

×

Terkait Pasar Ateh, Asraferi Sabri Tulis Surat Terbuka untuk Presiden RI

Bagikan berita
Foto Terkait Pasar Ateh, Asraferi Sabri Tulis Surat Terbuka untuk Presiden RI
Foto Terkait Pasar Ateh, Asraferi Sabri Tulis Surat Terbuka untuk Presiden RI

Kantor Pengurus Pasar berdampingan dengan bangunan Pasanggrahan Angku Palo atau Wali Nagari. Bangunan Pasanggrahan disebut karena para Wali Nagari Agam Tuo yang datang ke Bukittinggi, singgah dan sering menginap untuk istirahat. Di dekat kantor itu ada jenjang sebagai akses jalan dari Kampung Cina ke Pasar Atas, diberi nama Janjang Pasanggrahan. Pasar Serikat 40 Nagari Luhak Agam di Nagari Kurai, Bukittinggi, niniak mamak Luhak Agam ketika dibangun juga diberi tanda alam atau simbol atau penanda. Selain Janjang Pasanggrahan, Pasanggrahan Wali Nagari/Angku Palo, simbol/tanda yang dibuat adalah membangun jenjang yang diberi nama Janjang 40 yang menandakan 40 Nagari Agam.

Selain itu juga simbol berupa harimau yang dibuat dari semen berupa patung harimau, yang ditempatkan di setiap gerbang dan/atau jenjang; ada patung harimau ditempatkan di gerbang depan Jam Gadang, Janjang 40, Janjang Gudang dan di depan Pasar Ateh. Jumlah patung harimau itu berjumlah 8 (delapan) sebagai tanda delapan tokoh terkenal pejuang Agam Tuo yang dikenal dengan 'Harimau nan Salapan'. Ingatan kolektif masyarakat Agam yang tidak bisa dihapus begitu saja adalah 'Bukittinggi Koto Rang Agam', yang menyiratkan dan menyatakan kondisi ibarat 'kuku dan daging'.  KEENAM: Kolonial Belanda yang masuk ke Luhak Agam sekitar tahun 1823, lalu tahun 1827 Belanda membangun barak dan benteng di Nagari Kurai, di salah satu bukit yang sekarang dikenal dengan Benteng Fort de Kock. Setelah perang Paderi usai tahun 1843, Belanda yang menjajah ranah Minangkabau mulai mengatur-ngatur kehidupan orang banyak. 

Antara tahun 1890-1900, Pasar Serikat Luhak Agam (di Bukittinggi sekarang) dibangun beberapa los (los adalah bangunan besar tanpa sekat) yang dikenal dengan nama Los Maninjau karena los tersebut dominan orang Maninjau berdagang, Los Galuang (karena bentuknya ber-gelung), los Ampek Angkek karena banyaknya orang Ampek Angkek berdagang pakaian. Selain sarana prasarana ditambah, jalan diperbaiki. Pasar ditambah dan dikembangkan sejalan kebutuhan dan peningkatan ekonomi. Dibuat Pasa Teleng, Pasa Bawah, Pasa Taranak, Pasa Burung. Semua pembangunan itu dilakukan saat pemerintah Belanda berkuasa. Tetapi pembangunan tetap dilakukan di bawah organisasi Komite Pasar Sarikat 40 Nagari Agam, dengan biaya dari organisasi pasar yang disebut dengan nama Pasar Fonds. Juga ada dana yang dipinjam dari perusahaan atau maskapai keuangan swasta Belanda yakni Nederland Indishe Escompto Bank. 

Pembangunan Pasar Serikat Agam di Bukittinggi itu disebut dalam buku-buku, seakan-akan dibangun oleh Belanda di bawah Controleur Westenenk antara tahun 1901-1908. Belanda waktu itu berkuasa, memerintah, membuat aturan dan masyarakat akan ikut aturan atau ketentuan. Begitu juga Pengurus Pasar Serikat membangun Pasar Atas Bukittinggi dan Pasar-Pasar lainnya mengikuti aturan Belanda sebagai pemerintah yang punya aturan tata-kota dan perizinan.Controleur Westenenk berada di Fort de Kock (Bukittinggi sekarang) antara tahun 1901-1908 adalah pejabat pengawas pemerintah Belanda, sama dengan inspektorat atau pejabat inspeksi yang mengawasi masyarakat ketika membangun. Ketika Pasar Serikat 40 Nagari dibangun, memakai tenaga masyarakat dari 40 Nagari Agam, dipakai dana pinjaman dari perusahaan swasta Belanda, semuanya diawasi Westenenk sebagai aparat kolonial Belanda. 

KETUJUH: Pasar Serikat 40 Nagari Agam di Bukittinggi, sejak dibangun tahun 1784, kemudian Belanda mulai masuk ke Bukittinggi tahun 1823 dan berkuasa sampai tahun 1942, Belanda tidak pernah menguasai Pasar Serikat Bukittinggi secara total. Belanda jika bersikap menguasai akan mendapat perlawanan dari masyarakat Minangkabau, Luhak Agam termasuk basis utama perlawanan terhadap Belanda. Perang dengan Belanda dilakukan masyarakat Agam, yang dicatat sejarah yakni Perang Paderi  dalam tiga periode. Periode satu (1803-1821) Perang Tuak di mana kaum ulama memerangi beredarnya tuak, minuman keras di tengah-tengah masyarakat, dikenal dengan gerakan 'pemurnian Islam di Minangkabau' . Periode kedua (1821-1838) perang melawan Belanda, di mana masyarakat Minang bersatu memerangi Belanda. Periode ketiga: Puncak perang orang Minangkabau dengan Belanda antara 1838-1843 yang dikenal dengan Perang Batipuah. Juga terjadi Perang Kamang atau Perang Belasting dan Perang Mangopoh dikenal sebagai perang pajak melawan Belanda (1908). Pasar Serikat 40 Nagari Agam di Bukittinggi pada zaman Belanda, tetap diurus oleh Pengurus Pasar di mana mereka ditunjuk melalui musyawarah niniak mamak 40 Nagari Agam. Belanda yang berkuasa sebagai pemerintah waktu itu hanya membuat aturan-aturan. Belanda bahkan tidak bisa melakukan pungutan atau pajak kepada masyarakat, termasuk kepada pedagang di Pasar Serikat Pasa Atas Bukittinggi dan pasar-pasar lain.

 Pada tahun 1914, Belanda dengan niniak mamak Minangkabau mencapai kesepakatan. Kesepakatan itu adalah Belanda mengakui perberlakuan Undang atau Aturan/Hukum Adat Minangkabau di nagari-nagari. Atas pengakuan Belanda itu, niniak mamak di Minangkabau, termasuk di Luhak Agam baru membolehkan pemerintah Belanda memungut pajak di Pasar Serikat Agam di Bukittinggi tersebut. 

DELAPAN: Sejak awal Pasar Serikat dibangun, tahun 1784, pengurus Pasar Serikat 40 Nagari tetap ada. Bahkan sejak tahun 1914 ketika Belanda mulai mengurus pajak di pasar, Pengurus Pasar Serikat menerima pembagian dari hasil pajak Pasar Serikat yang diurus aparat Belanda. Hasil dari Pasar Serikat Pasar Serikat (Pasar Atas Bukittinggi) dan pasar lainnya di Bukittinggi dibagi oleh Pengurus Pasar kepada 40 Nagari di Agam. Bagi nagari-nagari, pembagian hasil Pasar Serikat Bukittinggi tersebut digunakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana untuk keperluan masyarakat. 

Setelah Belanda kalah (tahun 1942), Jepang berkuasa dari tahun 1942-1945, Pasar Serikat Agam di Bukittinggi diurus kembali oleh Pengurus Pasar Serikat tanpa campur tangan Jepang.  SEMBILAN: Pada masa awal kemerdekaan RI, di bawah pemerintah Republik, sampai tahun 1960, nagari-nagari di Agam masih mendapat pembagian dari hasil Pasar Serikat Agam yang ada di Bukittinggi tersebut. Setelah itu, sejak 1961, tidak ada lagi pembagian hasil Pasar Sarikat karena kondisi yakni: 1. Terjadinya Agresi Belanda tahun 1949-1951 di mana Pemerintah dalam keadaan Darurat (PDRI), 2. Meletusnya PRRI (20 Desember 1958 - 29 Mei 1961), 3. Meletusnya G-30-S tahun 1965, 4. Perubahan Orde Lama ke Orde Baru, 1966, 5. Keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang Desa, yang menetapnya sistem pemerintahan terbawah adalah Desa sehingga Nagari tidak ada lagi di Minangkabau, termasuk di Luhak Agam. Kondisi itu berlangsung sampai tahun 2002

Bapak Presiden yang kami hormatiPada tahun 1972 Pasar Serikat Tradisional di Pasar Atas Bukittinggi terbakar besar-besaran yang membuat bangunan, los-los utama yang dibangun sejak zaman sebelum dan saat Belanda berkuasa yang mencirikan Pasar Serikat 40 Nagari hilang. Setelah terbakar, Pasar Atas Bukittinggi dibangun kembali dengan dana pinjaman BNI 46. Selama dua tahun pembangunan, tahun 1974 sudah bisa ditempati pedagang. Setiap pedagang membayar Rp4 juta ke BNI 46, ada yang membayar tunai dan ada yang mencicil selama 5 tahun. Para padagang pemilik toko, sampai tahun 1989 tidak dikenakan pajak atau retribusi oleh pemerintah kota karena dana pembangunannya tidak berasal dari dana Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi.

Tahun 1995, pusat pertokoan Pasar Atas Bukittinggi tersebut kembali terbakar meski tidak terlalu parah. Kemudian tahun 1997 kembali terbakar, lebih parah sehingga direhabilitasi berat. Melalui Kanwil PU Sumatera Barat turun dana Rp6 miliar untuk membantu pedagang pemilik toko untuk merehabilitasi Pasar Atas Bukittinggi. Tahun 1999 Pasar Atas Bukittinggi bisa kembali beroperasi. Tidak ada dana rehabilitasi bersumber dari dana APBD Kota Bukittinggi.  Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi baru melakukan pemungutan retribusi kepada pedagang pemilik toko Pasar Atas Bukittinggi dengan dasar hukum Perda Nomor 16 Tahun 2003 tentang Retribusi Pelayanan Pasar. 

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini