Apologisasi Menteri Perdagangan M. Lutfi dihadapan anggota Komisi V DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) soal kelangkaan bahan pokok minyak goreng pada tanggal 17 Maret 2022 yang ditengarai akibat ulah para spekulan dan mafia tidak bisa dibenarkan! Kenapa tidak bisa dibenarkan, yaitu permasalahan spekulasi ataupun mafia bukanlah permasalahan yang kasat mata, lebih banyak disebabkan oleh kebijakan tata niaga komoditas yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Lalu apa permasalahan pokok sebenarnya, tentu saja M. Lutfi bukanlah orang yang tidak tahu menahu apalagi tidak mengetahui apapun sebagai pengusaha, dan mantan duta besar di Jepang dan Amerika Serikat. Apalagi jika dikaitkan dengan besarnya jumlah CPO yang diekspor sejak Tahun 2016-2021, yaitu sebesar 61-77 persen, sementara konsumsi dalam negeri hanya 23-38 persen. Wajarkah kebijakan ekspor ini?Tata Niaga komoditas telah lama tidak berjalan secara wajar dan berimbang antara kepentingan petani, pekebun, peternak, nelayan dan lain-lain yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Mandat konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 telah sejak lama diabaikan, terlebih sejak kebijakan paket Oktober 1988 (Pakto 88) tentang deregulasi dan debirokratisasi sektor keuangan ditetapkan. Sistem ekonomi Indonesia, khususnya sektor keuangan dan perbankan semakin mengandalkan kapitalisme-liberalisme. Pada akhirnya muncullah berbagai kasus perdagangan terselubung di dalam (insider trading) di berbagai bank konvensional, kasus yang menonjol seperti Bank Bali dan Bank Harapan Sentosa (BHS).
*Deregulasi Dan Debirokratisasi*Dalam kebijakan deregulasi dan debirokratisasi inilah para pengusaha swasta yang memperoleh keistimewaan hak (previllege) dari pemerintahan Orde Baru semakin besar dan menggurita, lalu dikenal dengan sebutan konglomerat. Betapa tidak, penyerapan dana (absorption) masyarakat melalui berbagai bentuk tabungan dan deposito telah memungkinkan para pemilik bank mengucurkan kredit perbankan ke kelompok usaha atau group nya sendiri. Inilah cikal bakal yang kemudian menjadi "skenario' terjadinya krisis keuangan dan ekonomi serta membuat posisi alm. Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia "ditikam" oleh orang-orang yang selama ini "dibesarkan" pemerintahan. Industri pertanian kompleks, baik itu pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan dikuasai oleh sekelompok orang tertentu saja, bahkan penguasaan hak atas tanah pun diserahkan kepada mereka. Jadi, dengan segenap kekuatan yang dimiliki itulah kelompok-kelompok ini menguasai sektor industri atau cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak mulai dari hulu, tengah (distribusi) dan hilir (penjualan retail).
Atas dasar itu, maka tak heran jika kelompok petani, pekebun, peternak, nelayan dan yang menggeluti usaha skala UMKM tidak memiliki akses ke lembaga perbankan atau pembiayaan. Apalagi segala macam persyaratan 5 C (Collateral, Capital, Capacity, Character, and Condition of Economic) tidak mungkin dipenuhi karena hak istimewa (previllege) tersebut telah diberikan kepada kelompok konglomerat. Dengan penguasaan dari hulu sampai ke hilir, maka sudah dapat dipastikan para konglomerat dalam industri sawit dan CPO itulah yang telah mempermainkan pasar, termasuk harga dan ketersediaan komoditas dan produknya. Dengan kekuatan penguasaan ekonomi itulah, maka satuan tugas pangan, apalagi Presiden Republik Indonesia tidak akan berdaya, apalagi kelompok ini juga mendapat tempat di istana negara dan menempatkan orang-orangnya didalam kabinet pemerintahan.Oleh karena itu, untuk mengatasi permainan mafia dan insider trading yang terus berulang kali terjadi, maka tata kelola cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dibenahi. Transformasi struktural tidak hanya dilakukan pada sektor Pertanian, namun juga disektor Perkebunan dan Kehutanan (termasuk perkebunan kelapa sawit), Peternakan, dan Perikanan-Kelautan, yaitu dengan menyerahkan pengelolaannya kepada entitas ekonomi Koperasi karena manfaat dan dampak nilai tambahnya bisa berpengaruh langsung dalam mensejahterakan rakyat melalui mekanisme keanggotaan, kalau dikelola korporasi takkan mungkin rakyat sejahtera, bahkan masalah harga komoditas terselesaikan dengan sendirinya.Diluar perspektif tata niaga komoditas yang sebagian besar dikuasai oleh hanya 5 unit korporasi perkebunan kelapa sawit yang sekaligus memiliki pabrik pengolahannya, tentu ada sebab lain yang membuat Mendag M. Lutfi kesulitan memberantas apa yang disebutnya mafia. Yaitu, pemilihan Presiden Republik Indonesia dengan model demokrasi seperti saat ini tentu membutuhkan pendanaan luar biasa besar, dan yang paling mungkin melakukannya adalah para konglomerat itu atau taipan, termasuk Presiden Joko Widodo. Lalu, bagaimana caranya memperkarakan pendukung yang nota bene dahulu turut memberikan bantuan pendanaan dalam proses pemilihan Presiden Republik Indonesia sampai menduduki jabatannya? Kalau sudah seperti ini bisakah Negara hadir dan tidak kalah oleh kepentingan korporasi dengan slogan Indonesian First?
Editor : Eriandi