Marwah Minangkabau, Buka Jahitan di Sayapmu

×

Marwah Minangkabau, Buka Jahitan di Sayapmu

Bagikan berita
Foto Marwah Minangkabau, Buka Jahitan di Sayapmu
Foto Marwah Minangkabau, Buka Jahitan di Sayapmu

Ketika mereka jadi orang tua dan punya anak, hal itu diharapkan lagi. Istilah Prof Rhenald Kasali orang tua menjahit sayap anaknya dan menukar kepalanya dengan kepala anaknya.Lalu kemudian muncullah sekolah favorit dan jurusan idaman. Hadirnya les-les mata pelajaran/bidang studi. Dengan sistem semacam ini, talenta seseorang, bisa terkubur atau tak diketahui sama-sekali.

Tapi itu, bisa saja menjadi "alasan" belaka, sebab sebenarnya bukan itu. Lalu apa? Dimana pun orang sekolah "kalau ka jadi mancik, sajak ketek lah bulek ikuanyo." Seseorang tidak menemukan bakatnya, jikapun ditemukan, tidak diasah. Lalu, takut akan masa depan, "kalau-kalau tidak cerah." Itu pun sebenarnya masih bisa dipengaruhi, untuk diubah.Isi kepala

Jika merujuk ke masa lalu, maka para bapak bangsa yang berasal dari Minangkabau, ternyata senantiasa menulis. Peluang itu sekarang terbuka jauh lebih lebar. Jenis media makin banyak. Materi tulisan apalagi. Yang kurang, kemauan.Memberikan isi kepala kepada orang lain lewat tulisan, akan dibaca ribuan orang, lebh hebat dari bicara dari mimbar. Ini, dibuktikan oleh Abdullah Ahmad pendiri Adabiah. Dibuktikan semua bapak bangsa, belakangan jauh ke sini dibuktikan oleh Saldi Isra dkk dari Universitas Andalas.

Itu pun belum. Belum cukup untuk mengangkat marwah Minangkabau. Banyak benar, lalu apa lagi? Kesepakatan komunal. Ini bisa lahir dari kesadaran bersama. Sekarang, kita mesti mencari alamat untuk menyampaikan kebenaran. Ini yang sulit di Sumatera Barat, kata kawan saya Ade Edward, lulusan ITB. Yang juga sulit, " mau mendengar."Kawan saya yang lain, Ir. Yosviandri direksi di Semen Indonesia, saat bertugas di Padang, berkata: secara bersama-sama dan dengan kesadaran penuh, perlu perubahan pola pikir. Bicara sesuatu harus dimulai dengan aura positif.

Membentuk kesadaran bersama, bukankah pekerjaan gampang. Imbau ke imbau, tulis ke tulis, kata seorang kawan di wag TOP100, "emak-emak ndak baco berita." Jadi tak sampai pesan ke bawah.Bagaimana bisa sampai? Lewat saluran serabut. Apa itu? Sekarang ada lembaga selain media yaitu MUI, LKAAM, Bundo Kadang, KAN, Walinagari dan para tokoh.

Tapi apa bisa? Berapa pula ongkosnya?Saya ingat, ketika MTQ Nasional ke-13 di Padang, semua pria memakai peci, termasuk para sopir. Sekali imbau saja oleh Pak Azwar Anas. Rasa hormat pada pemimpin waktu itu luar biasa. Saya kira kita perlu kembali menjemput rasa hormat itu. Tapi, dijemput-jemput saja, kemana akan dialamatkan?

Maka kita memerlukan seseorang atau lebih untuk membangun (kembali) kesadaran kolektif, tanpa ada embel-embel untuk marwah dan sejenisnya. Sadar saja, pasti akan ada hasil. Padi ditanam, padi tumbuh.Jangan harap, semua tulisan soal marwah Minangkabau, akan sempurna. Jangan harap pula, akan membuat motivasi hebat pada tiap individu Minangkabau. Apalagi "mambangkik batang tarandam." Semestinya istilah ini dibuang saja, atau tinggalkan sejenak. Menurut penelurusan saya, istilah itu muncul karena batang (pakayunan) untuk membangun rumah memang direndam berlama-lama bahkan bertahun-tahun dalam lunai di tabek, sambil juga menunggu uang cukup.

"Masa depan adalah sekarang," ini mesti dipegang, kalau tak mau tak apa-apa. Saya pernah membaca, tapi lupa dimana, "tentukan pilihan sebelum usia 30," sebab segala sesuatu yang baru dimulai, seringkali jauh dari harapan. Tidak pernah padi ditanam langsung berbuah. Ada tangga kehidupan. Yang jelas, bekerjalah dengan otak. Orang yang bekerja dengan otak, akan menerima penghasilan lebih banyak. Apalagi bicara dan menulis dengan memakai pemikiran, akan luar biasa.Menjelang tulisan ini saya akhiri : Jangan terlalu asyik dengan politik, nanti dijualnya Anda oleh orang, sehingga kita jadi tukang sorak saja, tidak pernah menjadi pemain. Kita jangan jadi pemain, tapi jadilah manajer tim.

Ketika itulah kita mesti kembali ke rumah, sebagai orang tua, sudah cukup kompetenkah Anda menjadi orang tua?"Anak-anak tidak tiba-tiba menjadi nakal dan bermasalah. Penyebabnya hanya satu, ayah ibunya tidak memiliki kompetensi sebagai orang tua. Yuk jadi orang tua betulan, bukan kebetulan jadi orang tua," tulis Yesi Elsandra di Wag MDGN/TF Pendidikan yang saya ada dalam grup itu.

Cocok Kalau cocok, bukan hanya keberhasilan KB yang mesti dinilai oleh pemerintah, tapi tumbuh kembang anak. Sulit memang. Zaman dulu, jangankan tumbuh kembang, bareh se maha, negara terjaga, pitih sarikJadi apa nih yang salah babenta-benta tak karuan saja tulisan ini sejak tadi? Rumah tampak, jalan tak ado. Gana se wee. Maghaman je. Tak tentu yang akan dikerjakan. Buka jahitan sayap itu, terbanglah burung kelana Minangkabau. Cubo lah, bisa mah.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini