JAKARTA - Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menyarankan agar pada pemilihan umum (Pemilu) 2024, terkait Pilpres sebaiknya dapat menampilkan minimal tiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden.Sehingga masyarakat punya banyak alternatif atau banyak varian menu yang disajikan.
“Kalau kita punya empat calon presiden atau tiga calon presiden, masyarakat pada tahap election untuk memilih, mereka punya banyak alternatif, punya banyak menu varian yang disajikan,” kata Pangi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (30/9/2022).Pangi mengungkapkan, bila hanya dua pasang calon (paslon) capres), dapat merusak tenun dan politik kebangsaan. Mengingat, pemilu kali ini mayoritas pemilih generasi milenial.
“Saya merasakan kerusakan pada dua periode pemilihan presiden sebelumnya, sehingga minimal harus ada tiga sampai empat poros untuk mencegah politik identitas, polarisasi dan keterbelahan. Itu kan niat baik,” tuturnya.Selain itu, hasil survei Voxpol terbaru juga menyebutkan sekitar 40,6 persen responden menginginkan harus ada lebih dari dua calon presiden pada Pemilu 2024.
Alasannya responden untuk mendapatkan pemimpin alternatif.Survei itu menyatakan terdapat 31 persen responden yang beralasan agar tidak terjadi konflik sosial dan perpecahan di masyarakat.Pangi menjelaskan makin banyak pasangan calon presiden maka alternatif dan varian pemimpin yang ditawarkan kepada masyarakat makin banyak.“Wajar kemudian pemilih milenial, yang anak muda, mereka bosan dan jenuh, apalagi calon presiden wajah lama. Partisipasi mereka bisa turun. Bahkan saya pernah diskusi sama kaum milenial usia 17-39 tahun, kenapa nggak milih calon presiden, karena tidak ada yang segar, mereka ingin ada yang baru,” jelasnya.
Untuk itu, terang Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia itu, tidak boleh ada tempat maupun ruang untuk membuka kotak pandora politik identitas dengan polarisasi isu. Maka itu mesti ada tiga calon presiden (capres) yang berlaga dalam Pilpres 2024.“Sehingga, gelombang polarisasi dapat terpecah dan tidak ada lagi kontestasi rematch pilpres. Belajar dari pengalaman sebelumnya, politik identitas kerap kali dijadikan komoditas politik untuk meraup suara konstituen,” pungkas Pangi Chaniago. (Ery)
Editor : Eriandi