Pada 1949, Hasan Basri adalah Wali Perang. Setingkat Walinagari, karena status negara darurat, maka Walinagari disebut Wali Perang.Mr. Syafrudin Prawiranegara tiba di Silantai sekitar awal Mei 1949, atau di penghujung masa PDRI. Rombongan tim lengkap yang selalu menggotong peralatan radio seberat 3 ton sudah menjalani perjalan jauh dari Bidar Alam, Solok Selatan.
Perjalan Mr. Syafrudin Prawiranegara, setelah menyatakan Indonesia masih ada di Bidar Alam, kemudian berpindah ke Sumpur Kudus. Perjalan membutuhkan beberapa hari.Mereka melewati sejumlah daerah melalui jalan setapak lewat Kiliran Jao, Sungai Bitung, Padang Tarok, Tapus, Durian Gadang, Manganti, hingga akhirnya mencapai tempat tujuan pada 5 Mei 1949.
"Tiba di Silantai, langsung diterima oleh masyarakat. Sementara tentara yang mendampingi selalu bersiaga,"kenang Irianis.Pertemuan di Sumpur Kudus setelah adanya kesepakatan antara Mr. Syafrudin Prawiranegara dengan anggota kabinet Mr. Mohammad Rasjid yang menjabat menteri perburuhan PDRI merangkap Gubernur Militer Sumatra Tengah bermarkas di Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota.
Perjanjian bertemu di Silantai tersebut dilakukan dengan komunikasi kontak radio. Akhirnya pada 14-16 Mei 1949, dilakukan Sidang Kabinet PDRI Lengkap. Tepatnya di rumah Wali Perang Silantai, Hasan Basri.Diketahui, Mr. Syafrudin juga dikelilingi oleh kelompok anak muda yang ahli bela diri. Mereka yang rela mati untuk menjaga Ketua PDRI. Perlawanan yang cukup alot ketika tentara Belanda mengejar Syafrudin hingga ke Sungai Dareh. Belanda juga tidak berhasil menyergap rombongan tersebut.
Ada yang menyebutkan, karena begitu sulitnya melakukan penyergapan dan penangkapan pada kelompok ini. Maka Belanda melabeli mereka sebagai Black Cat, si Kucing Hitam. Pasukan Belanda cukup kewalahan menghadapi kelompok ini.Di Silantai, selain menjalankan roda pemerintah darurat, Mr. Syafrudin Prawiranegara menjalani hari-harinya bersama masyarakat. Bermain bola kaki serta bola voli. Jika malam tiba, Mr. Syafrudin Prawiranegara juga menyaksikan latihan silat dan randai.
"Jadi Pak Syaf menjalani kehidupan seperti biasa, meski dalam pengawalan. Apalagi kabinet juga lengkap di Silantai,"kenang Irianis lagi.Irianis juga mengingat cerita ayahnya saat di Silantai rombongan yang memiliki berbagai kemampuan juga membantu masyarakat disana. Seperti melakukan pengobatan, karena dalam tim juga ada dokter.
Rumah SidangKondisi Rumah Sidang PDRI terlihat masih terawat sebagaimana bangunan aslinya. Kontruksi yang sepenuhnya berbahan kayu masih berdiri kokoh.Ada 3 kamar di rumah itu. Jika masuk dari depan, satu kamar berada di depan. Dua kamar mengapit ruang tamu di bagian belakang. Tepat di ruang tengah rumah itu dijadikan ruang sidang.Kamar belakang sebelah kanan merupakan kamar tidur Pak Syaf. Semuanya dibiarkan sama seperti dengan ditempatinya dulu. Kini masih ada tongkat dari rotan, kursi dan meja tulis Pak Syaf.
Dipan tepat tidur dengan rangka kelambu dari besi dibiar tetap mengisi kamar tidur tersebut. Dinding papan kayu belum diganti. Masih yang asli seperti di tempati Mr. Syafrudin Prawiranegara.Kini rumah sidang ini sudah menjadi cagar budaya. Dalam pengawasan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Penetapan cagar budaya itu ditetapkan sekitar 2010 lalu.
Sama dengan 2021, pada 2022 Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kembali menggelar sejumlah kegiatan dalam rangka napak tilas PDRI. Langkah itu guna mengingatkan generasi muda bahwa ada sejarah besar yang melibatkan Sumatera Barat dalam mempertahankan NKRI.Selain upacara Pemprov Sumbar juga melaksanakan Tour de PDRI yang digawangi Dinas Pariwisata Sumbar.(yose)
Editor : Eriandi