Kendati prinsip dasar demokrasi adalah menghadirkan ruang kebebasan untuk setiap warga negara dalam menentukan pilihan dan menyampaikan suara, namun praktik dan sistem pemilu di sejumlah negara belum sepenuhnya sempurna. Bahkan, ada yang justru berseberangan dengan prinsip demokrasi tersebut.Di Indonesia, kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah amanah Undang-Undang Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Maka, penyampaian aspirasi dapat dilakukan secara bebas lewat berbagai saluran. Termasuk dengan media massa sekalipun, lewat jasa rilis media nasional yang berkaitan kebutuhan tertentu.
Di sejumlah negara, anggota polisi atau militer tidak punya hak pilih. Negara tersebut antara Republik Dominika dan Indonesia. Di Guatemala, bahkan para anggota militer yang aktif, dilarang untuk keluar dari barak pada masa pemilihan umum. Kemudian, anggota militer dan polisi Kuwait dan Oman juga tidak memiliki hak pilih.Kemudian, negara lain yang menerapkan aturan serupa, yakni , Angola, Argentina, Brazil, Chad, Kolombia, Ekuador, Honduras, Paraguay, Senegal, Tunisia, Turki, Uruguay, dan Perancis sebelum 1945.
Ada pula aturan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Yakni ketiadaan hak untuk memilih bagi kaum wanita. Hal ini berlaku untuk negara seperti Saudi Arabia dan Vatikan. Sebelum tahun 2008, Bhutan juga menerapkan aturan yang sama. Namun, kini Arab Saudi sudah mengizinkan para wanita untuk memilih, meski masih dibatasi pada tingkatan pemilu kota. Hingga akhirnya pada 2015, mereka mendapatkan perluasan hak untuk memilih.Di luar aspek usia atau gender, masih banyak batasan bagi seseorang untuk mendapatkan hak pilih. Berdasarkan sejarah, negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Swedia pernah melarang keterlibatan wanita dalam pemilu pada era 1800 an. Kemudian, Maladewa hanya mengizinkan penduduk penganut Muslim untuk memilih, sebelum 2011.
Beberapa persyaratan warga negara untuk memilih juga masih cukup ketat dan berbeda di sejumlah negara. Mereka yang pernah atau masih menjalani hukuman, umumnya akan kehilangan hak pilih. Di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat, napi dan mantan napi tidak mendapatkan hak tersebut.Sementara di Kanada, sebelum 2002 hanya mantan napi dan napi yang menjalani hukuman di bawah durasi 2 tahun yang diizinkan memilih. Namun, semua napi dan mantan napi sudah mendapatkan hak pilih sejak 2004.Kemudian, ada juga syarat ketat yakni tempat kelahiran. Di negara seperti Filipina, Nikaragua dan Peru, hanya warga negara asli dan kelahiran asli yang bisa dipilih sebagai wakil rakyat. Sementara, warga naturalisasi hanya bisa memilih saja.Berbicara mengenai sistem di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum atau KPU menetapkan tiga syarat yang wajib bagi warga negara agar dapat menjadi seorang pemilih. Yakni, Warga negara Indonesia (WNI), berusia 17 tahun atau lebih saat memilih dan pernah atau sudah menikah. Untuk syarat terakhir, artinya meski warga tersebut belum mencapai 17 tahun, tetap berhak memilih jika sudah menikah.
Sehingga, untuk masyarakat yang belum memenuhi ketiga syarat tersebut, secara otomatis mereka tidak berhak menyumbangkan suara mereka dalam pemilihan umum. Meski demikian, KPU juga menetapkan aturan yang menyebutkan kondisi tertentu yang membuat seseorang tidak punya hak pilih. Aturan tersebut adalah, orang yang memiliki gangguan jiwa atau mental, sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan dengan kekuatan hukum tetap dan anggota TNI dan Polri.Berbicara mengenai pelaksanaan pemilu, Indonesia tengah bersiap untuk menuju pesta demokrasi pada 2024. Untuk memberikan informasi seputar perkembangan terbaru pemilu, ada baiknya menggunakan saluran media massa lewat publikasimedia.com. Dengan begitu, setiap informasi dapat disampaikan secara aktual dan terpercaya.(*)
Editor : Eriandi