Oleh: Riyan Berta Delza (Bendahara Umum DPP IMM)Telah men-DNA pada bangsa ini bahwa jabatan-kekayaan itu bermakna dihormati dan terutama dilayani, diperlakukan istimewa, dan sebaliknya. Itu diperkuat dengan kenyataan sehari-hari, yang memang menunjukan hal itu. Jadi, sejak kecil manusia Indonesia itu secara tanpa sadar dididik-ditanamkan dalam dirinya tentang bagaimana mereka harus memperlakukan orang kaya dan atau pejabat.
Konsepsi itu, mengakar kuat dalam bawah sadar dan menanamkan superior dan inferioritas psiko-sosio-kultural. Contoh sederhana, pada saat acara hajatan saja, tamu pejabat, yang kaya disambut dengan tergopoh-gopoh, penuh hormat, tempat duduknya, dibedakan.Mungkin juga hidangannya, yang berkedudukan barangkali lengkap dari makanan pembuka, penutup bahkan tusuk gigi pun ada, di meja tertera tulisan VIP sedangkan yang biasa saja, dimanapun bisa makan asal jangan makan di bangku VIP. Bahkan terakhir saya dengar kabar sholat id pun terlambat dilaksanakan hanya karena menunggu pejabat datang.
Perilaku tergopoh gopoh, pelayanan menyambut orang kaya dan pejabat itu adalah ekspresi inferioritas yang muncul secara tanpa sadar, spontan. Seolah-olah ada aturan yang mengharuskan itu. Meski, sejatinya, itu digerakkan alam bawah sadar yang telah bekerja secara otomatis.Maka, jika ada manusia yang superior baik dalam jabatan dan atau kekayaan melakukan hal hal yang kecil, sederhana, dan agak manusiawi, seperti makan di kaki lima, datang tepat waktu, baju sederhana, pakai brand lokal, makan dan ngobrol dengan petani sampai tukang bakso, akan dianggap sebagai perilaku dan atau peristiwa yang hebat dan luar biasa, yang layak puji, penuh keagungan dll.
Mengapa? Sebab hal itu menyimpang dari konsepsi, keyakinan atau bayangan psiko-sosio-kultural tentang orang kaya dan atau pejabat. Penyimpangan itulah yang memicu munculnya konsepsi bawah sadarnya. Disitu, sejatinya, inferioritas yang dibentuk dari psiko-sosio-kultural tengah bekerja.Dalam masyarakat yang semacam ini agak sulit menanamkan karakter, "Bila kau miskin jangan rendah diri, dan bila kaya jangan besar kepala." Kenapa sulit? Telah mengakar secara psiko-sosio-kultural, dan terus dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Dan anak-anak kita bukan hanya sekedar belajar dari situ, tapi sekaligus mengalaminya. Di kontrol dan cenderung dipaksa agar bersikap demikian.Celakanya persepsi ini dimanfaatkan dan bak gayung bersambut, mana kala ndoro-ndoro ningrat atau orang terlanjur kaya dan pendekar politik memakai ke -inferioritasannya itu dalam ruang politik yang serba sesaat tersebut.Maka sering kali kita melihat dalam momentum politik, para pejabat atau para ndoro berpenampilan sangat sederhana, makan ditempat yang paling murah, pidato dimimbar seperti yang paling menderita, kadang sholat di mesjid di shaff yang paling belakang, semata mata hanya ingin menunjukan seberapa sederhana, sederajat dengan orang-orang mayoritas.
Namun setelah setelah hajat politiknya terpenuhi, kepentingannya terfasilitasi ia akan kembali ke kutub superioritasnya, dengan kejumaan dan gila penghormatan. Manusia mayoritas yang tergila-gila keinferiotasan itu akan menjadi gila beneran dengan ekspektasi yang sudah sampai kelangit ketujuh.Pada akhirnya sibisu tak kan pernah bisa bernyanyi, si lumpuh tak kunjung bisa menari, terpesona, terkesima wujud sesaat yang penuh intrik.(*)
Editor : Eriandi