Posisi berada di tengah itu sangat terkesan ketika pada masa lalu ada nuansa terjadi kompetisi tersembunyi antara pengikut ormas tertentu di lembaga yang dipimpinnya. Amarhum Prof Amir begitu piawai mengendalikan diri dan bawahannya serta koordinasi ke samping, ke atas dan ke bawah.
Dengan begitu tak ada kesan beliau pro kekuatan tertentu apalagi ormas tertentu. Kendali manajemen dan spektrum kepemimpinannya di akui adil-berimbang dan memberikan semangat kreatifitas tinggi kepada dosen, mahasiswa dan karyawan.
Politisi Handal
Pada masa kepemimpinan Prof Amir di IAIN Imam Bonjol dianggap berbagai pihak beliau sukses. Lalu setelah itu beliau terpilih aklamasi menjadi Ketua MUI Sumbar. Berikutnya, ketika di ujung masa Orde Baru 1977-1999 Prof Amir terpilih melalui sidang DPRD Sumbar menjadi Anggota MPR RI utusan Daerah dari Sumbar.
Ini mencerminkan bahwa kilatan politik menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan ulama yang satu ini di masa itu.
Keadaan itu tak begitu lama berlansung. Oleh karena Prof Amir adalah Guru Besar Hukum Islam yang jelas adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Maka sesuai dengan aturan setelah reformasi, ASN bebas politik praktis atau Bahasa vulgarnya, “tak boleh berpolitik”, dan apa lagi duduk di lembaga negara yang berbaju politik. Ulama guru besar ini sepenuhnya kembali ke habitat awalnya yaitu dunia keulamaan dan akademisi.
Tak Banyak Cerita dan Kokoh
Kecintaan para kolega dan murid Amir Syarifuddin bukan hanya atas ilmu dan keulamaannya. Lebih dari itu. Misalnya komen berikut dari Prof. Dr. H. Azmi, M.Ed, mantan rektor UM Sumbar dan WR 1 IKIP-UNP. “ Prof Amir itu tak banyak cerita dan kokoh”, Prof Azmi pernah bersamanya di MUI Sumbar.
“Apa itu maksudnya?” Tanya penulis Obituari ini. “Beliau kalau rapat, berunding atau bertemu hanya membicarakan pokok persoalan”. “Dan beliau Prof Amir tak pernah tergoda dengan rayuan duniawi”.
Selamat jalan Guru Besar Prof Dr Amir Syarifuddin. Semoga Allah melapangkan jalan untuknya kelak ke syurga jannatun naim.***
Editor : Eriandi