S.A. Buddingh, Wisatawan Pertama Ke Sumatera Barat

×

S.A. Buddingh, Wisatawan Pertama Ke Sumatera Barat

Bagikan berita
Foto S.A. Buddingh, Wisatawan Pertama Ke Sumatera Barat
Foto S.A. Buddingh, Wisatawan Pertama Ke Sumatera Barat

Oleh. Prof. Gusti AsnanSumatera Barat mulai dikembangkan menjadi destinasi wisata sejak tahun-tahun pertama awal abad ke-20. Namun daerah itu telah dikunjungi oleh wisatawan jauh hari sebelumnya. Daerah itu telah dikunjungi wisatawan sejak dekade 1850-an, nyaris sekitar setengah abad sebelum dibranding sebagai ‘Het Land van Tourisme’.

Tidak diketahui berapa banyak wisatawan yang berkunjung ke daerah itu dalam kurun waktu setengah abad tersebut. Diperkirakan jumlahnya cukup banyak. Perkiraan ini didasarkan oleh adanya sejumlah catatan perjalanan (travelogues) yang mereka buat. Setidaknya ada belasan travelogues yang dihasilkan wisatawan yang mengunjungi Sumatera Barat dalam rentang waktu itu. Bila yang membuat catatan perjalanan saja ada belasan jumlahnya, tentu yang datang namun tidak sempat menuliskan catatan perjalanan mereka bisa diperkirakan jauh lebih banyak lagi.Salah satu wisatawan yang membuat catatan perjalanan itu adalah S.A. Buddingh. Secara historiografis, travelogue Buddingh adalah catatan perjalanan wisatawan pertama ke Sumatera Barat. Berdasarkan catatan perjalanannya itu pulalah, sampai saat sekarang, Buddingh dianggap sebagai wisatawan pertama yang mengunjungi Sumatera Barat.

Barangkali ada wisata lainnya yang mengunjungi Sumatera Barat sebelum kedatangan Buddinh, tetapi karena tidak tercatat atau tidak menuliskan kisah perjalanan mereka, maka setakat ini, Buddinghlah yang dikatakan sebagai wisatawan pertama yang berwisata ke Sumatera Barat.S.A. Buddingh, atau lengkapnya Steven Adriaan Buddingh berkunjung ke Sumatera Barat tahun 1855, tepatnya antara 2 Maret sampai 14 Mai 1855. Catatan perjalanannya terbit tahun 1861. Catatan mengenai kunjungannya di Sumatera Barat disajikan pada Jilid 3 dari tiga jilid traveloguenya yang berjudul Neerland-Oost-Indie. Reizen over Java, Madura, Maksser, Maleijer, Bima, Menado, Sangier-eilanden, Talau-eilanden, Ternate, Batjan, Gilolo en omligende eilanden, Banda-eilanden, Amboina, Haroekoe, Saparoea, Noussalaut, Zuidkus van Ceram, Moeroe, Boano, Banka, Palembang, Riouw, Benkoelen, Sumatrs’ Westkust, Flores, Timor, Rotty, Borne’s Westkust en Borneo’s Zuid- en Oostkust gedaan gedurende het tijdvaak van 1852-1857.

Buddingh mendeskripsikan perjalanannya, apa yang dialami, dilihat, didengar dan diketahui (dibacanya) dengan sangat detil. Tidak hanya sangat detil tetapi informasi yang disajikannya juga sangat banyak. Informasi yang disajikan mencakup gambaran fisik dan aspek-aspek sosial-budaya kota atau daerah yang dikunjunginya, objek-objek wisata di kota atau daerah yang dikunjunginya, serta rute perjalanan yang dilaluinya.Sajian Buddingh ini kemudian dijadikan pedoman atau panduan oleh wisatawan lain yang mengunjungi Sumatera Barat selepas kunjungan Buddingh. Hal ini terlihat dari catatan perjalanan yang dibuat oleh wisatawan-wisatawan lainnya. Tidak itu saja, sajian Buddingh juga dijadikan rujukan oleh sejumlah penulis buku-buku panduan wisata (tour guides) yang terbit sejak sejak tahun-tahun permulaan abad ke-20 hingga tahun-tahun terakhir 1930-an.

Buddhingh memulai kunjungannya di Sumatera Barat dengan menapakkan kakinya di Padang dan mengakhiri tamasyanya dengan meninggalkan Rao menuju Muarasipongi (Tapanuli). Dia mendeskripsikan sejumlah objek wisata di sejumlah daerah yang dikunjunginya. Beberapa di antaranya adalah Gunung Padang, Taman dan Pemandian Welkom (Lubukbegalaung), rumah-rumah ibadat (gereja dan kelenteng), Pasar Padang. Benteng Kayutanam, Lembah Anai, Pasar Padangpanjang, Taman atau Monumen Guguak Malintang, Karbauwengat (Ngarai Sianok) di Fort de Kock (Bukittinggi), Gunung Merapi dan Singgalang, Danau Maninjau, Goa dan Puncak Titi Baso, Lembah Harau, Pasar Payakumbuh, Goa Halaban,  Goa Buo, Benteng Fort van der Capellen (Batusangkar), Gudang Kopi di Fort van der Capellen, Danau Singkarak, Danau Kembar Alahanpanjang, Gunung Talang,  dan lain sebagainya.Buddingh mengatakan bahwa sebagian besar objek wisata yang dikunjunginya adalah objek wisata alam, Di samping dia juga menyebut ada beberapa objek wisata buatan. Untuk kelompok disebutkan adanya objek wisata reliji (rumah ibadat), wisata sejarah (taman dan monumen peringatan korban perang seperti di Guguk Malintang dan benteng-benteng seperti Fort de Kock, Tanjuangalam, Lintau, Fort van der Capelleh, dan gudang-gudang kopi Belanda seperti di For van der Capellen, serta wisata budaya dan ekonomi (pasar mingguan yang dikatakannya sangat menarik dan ramai serta beragam. Khusus untuk yang terakhir ini Buddingh sangat terkesan dengan pasar di Payakumbuh yang dikatakannya paling ramai di seantero Sumatera dan terdiri dari berbagai jenis psar, ada pasar kuda, pasar kerbau, pasar kambing dan biri-biri, pasa sayur-mayur, pasar kelontong, dlsbnya).

Buddingh juga memberikan julukan (branding) terhadap beberapa objek wisata yang dikunjunginya. Dia menyebut Fort de Kock sebagai ‘Paradijs van Bovenlanden’, Puncak Titi dekat Baso sebagai ‘Paradijs van Sumatra’ dan Danau Singkarak sebagai ‘De Gootste Meren van den Indischen Archipel’.Buddingh berwisata di Sumatera Barat dengan rute yang cukup rumit dan sedikit bolak-balik. Dia memulai perjalanannya dari Padang menuju Fort de Kock melalui Sicincin, Kayutanam dan Padangpanjang. Dari Fort de Kock menuju Payakumbuh. Dari Payakumbuh menuju Fort van der Capellen melalui Halban, Buo dan Lintau. Kemudian menuju Solok melalui Singkarak. Dari Solok kembali ke Fort de Kock. Kemudian dari Fort de Kock ke Pariaman melalui Kayutanam dan Siciincin. Dari Pariaman terus ke Tiku. Dari Tiku kembali ke Fort de Kock. Dari Fort de Kock menuju Maninjau melalui Matua dan kembali ke Fort de Kock. Dari Fort de Kock menuju Bonjol, Lubuksikaping, Panti, Rao dan selanjutnya menuju Tapanuli.

Menurut keterangan Buddingh kondisi jalan di setiap rute yang dilaluinya cukup baik. Bahkan beberapa ruas jalan disebut dengan dengan ‘groote weg’ (jalan besar). Buddingh menyebut bahwa sarana tarsportasiyang digunakan terdiri dari kereta kencana (milik gubernur), bendi dan kuda tunggangan. Buddingh juga menyebut bahwa dia disambut hangat oleh Gubernur, Residen, Asisten Residen, Kontroleur, dan juga sejumlah pejabat Urang Awak seperti Tuanku Lareh dan penghulu.Khusus untuk Urang Awak Buddingh memberi catatan tersendiri. Mereka baik, ramah, dan bersahabat. Buddingh juga menginformasikan bahwa dia juga diundang menghadiri helat kawin anak seorang Kepala Laras di Payukumbuh. Helat besar yang dihadiri ratusan ata ribuan tamu. Dia juga dijamu penghulu di Buo dan dipertemukan dengan 20 orang wanita yang memakai pakaian tradisional Minang yang menurutnya dan istrinya begitu mempesona. Dia juga menyaksikan sejumlah acara kesenian, nyanyia dan tarian yang dipersembahkan orang muda/penduduk sejumlah nagari yang disinggahinya.

Budingh lahir 25 Maret 1811 di Kage dekat Leiden. Mengikuti jejak ayahnya seorang pendeta maka dia belajar teologi di Leiden. Tanggal 4 Oktober 1832 dia diangkat menjadi calon pendeta dan 21 September 1833 dia meraih gelar doktor dalam teologi. Segera setelah tamat dia berangkat menuju Batavia dan bekerja sebagai guru di kota itu. Sejak 25 Juni 1834 dia diangkat menjadi pendeta bantu, dan setelah itu pendeta tetap hingga 1850.Selama di Batavia dia aktif pada berbagai pertemuan dan kegiatan ilmiah. Dia juga sering melakukan perjalanan ke banyak kota dan daerah di Pulau Jawa. Setelah pulang sebentar ke Belanda maka tahun 1851, dia mendapat tugas untuk untuk menginspeksi keadaan gereja dan sistem pendidikan di Hindia Belanda.

Tamasya yang dilakukannya ke Sumatera Barat sesungguhnya adalah bagian dari pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya itu. Sehingga bila dikaitkan dengan defenisi wisata dan bentuk-bentuk wisata, maka wisata Buddingh sesungguhnya bukanlah wisata murni, tetapi ‘karya wisata’, berwisata sambil bekerja. Pola wisata Buddingh ini sesunguhnya dilakukan pula oleh sejumlah wisatawan lain yang mengunjungi Sumatera Barat pada parohan kedua abad ke-19 dan juga pada empat dekade permulaan abad ke-20. Buddingh meninggal dunia di Negeri Belanda 29 Juli 1875 dan disemayamkan di Katwijk.Seperti telah disebut sebelumnya, legacynya untuk Sumatera Barat adalah catatan perjalanannya yang menjadi panduan bagi wisatawan yang berwisata ke daerah itu pada kurun waktu selepas kunjungannya dan menjadi referensi bagi penulis buku-buku panduan wisata (tour guides) pada era demam wisata di Hindia Beanda umumny dan Sumatera Barat khusus, pada empat dekade pertama abad ke-20. (***)

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini