Ketika itu, sebuah jembatan di Kayu Tanam putus. Namun beberapa hari berikutnya, jalan sudah dapat dilalui kembali. Jembatan sudah kembali berdiri kokoh dan siap menyeberangkan puluhan bahkan ratusan kendaraan setiap harinya.
Tapi kali ini, bukan jembatan yang runtuh, melainkan badan jalan. Amblas, habis terkikis dan dihanyutkan air sungai yang mengalir deras di sisi jalan. Sedih. Banyak kendaraan hanyut. Ada jiwa yang melayang. Kafe fenomenal di depan air terjun Lembah Anai juga disapu habis oleh air bah yang datang maha dasyat.
Jalan Lembah Anai menurut sejarah dibangun pada tahun 1922 atau masih di era kolonial Belanda. Banyak kisah sedih yang mengiringi terbangunnya jalan tersebut.
Seperti dikutip tirto.id dari Elizabeth E. Graves dalam Asal Usul Elite Minangkabau Modern : Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX (2007), saat pembangunan Jalan Lintas Sumatra Padang-Bukittinggi melalui Lembah Anai, Pemerintah Kolonial Belanda memerintahkan warga melakukan kerja paksa. Para pekerja, harus menempuh waktu berhari-hari menuju proyek pembangunan jalan.Graves dalam buku tersebut menuliskan, Belanda mengeluarkan perintah dan mewajibkan semua penduduk untuk kerja paksa, kecuali perempuan, orang jompo dan pemuka agama. Tenaga kerja ini kemudian diurus oleh Kepala Nagari dan Angku Lareh atau pemimpin wilayah dalam era tanam paksa melalui penghulu suku. Makanan pun dibawa sendiri oleh para pekerha, begitu juga dengan peralatan kerja dan transportasi menuju tempat kerja.
Editor : yuni