PADANG -Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar menilai terjadinya bencana longsor di kawasan Lembah Anai adalah akumulasi krisis ekologi, yang ditambah dengan sikap pemerintah provinsi yang terlambat melakukan penanganan atau eksekusi pembongkaran terhadap bangunan-bangunan di kawasan tersebut.
"Walhi Sumbar menilai yang terjadi di kawasan Lembah Anai adalah bencana ekologis, bukan bencana alam. Ini terjadi karena akumulasi krisis ekologi. Kini bisa kita lihat, dampaknya meluas, korbannya juga banyak," ujar Direktur Walhi Sumbar, Wengky Purwanto saat dihubungi Singgalang, Minggu (12/5).
Wengky menilai, pemerintah lupa menyelesaikan akar dari dampak yang bakal terjadi di kawasan itu, baik itu terkait ketentuan tata ruang, analisis resiko bencananya, ataupun soal prinsip lingkungan hidup yang memang seharusnya perlu dijaga dan penting untuk diperhatikan.
Pihaknya pun sudah mengingatkan bahwa kawasan Lembah Anai memang rentan terjadinya banjir dan longsor, kalau masih saja pembangunan di kawasan itu dilakukan tanpa menitikberatkan kepada analisis dan aturan terkait lingkungan.
"Seharusnya, dalam mengeluarkan izin investasi, pemerintah tidak hanya mengedepankan peningkatan dari segi ekonomi dan sosial saja, tapi yang terpenting adalah aspek lingkungannya," katanya.
Padahal menurut Wengky, misalnya saja untuk bangunan Cafe Xakapa yang kini hanyut diterjang banjir bandang, pada Februari 2023 sudah dilakukan pembahasan oleh Dewan Sumber Daya Air, dan direkomendasikan bangunan itu dan juga beberapa bangunan lain di sekitarnya untuk dibongkar, tapi hingga setahun kemudian, proses eksekusi tidak juga dijalankan pemerintah setempat."Xakapa dan pembangunan rest area di sekitarnya itu sudah dinyatakan melanggar. Sudah direkomendasikan dibongkar sejak awal tahun lalu, dan sudah sampai SP3. Dan kini, karena lama proses eksekusi, alam yang memulihkan sendiri," ujar Wengky.
Dia pun mengatakan, atas kejadian ini pemerintah provinsi dan BKSDA adalah pihak yang paling bertanggung jawab.
Dia pun menilai, pemerintah tidak bisa sembarangan dalam mengizinkan investasi, walaupun dibuat dengan istilah taman wisata alam, karena di memang ada ancaman bencana, dan semakin parah jika tidak memperhatikan prinsip lingkungan hidup dan analisis resiko bencananya.
"Sebelumnya juga pernah ada rencana pembangunan plaza di kawasan Lembah Anai, setelah dikritik, akhirnya pembangunannya batal. Praktek fasilitasi investasi tanpa melihat aturan dan mengabaikan prinsip lingkungan kedepannya kita harap tidak terjadi lagi. Karena bencana yang terjadi ini bukti gagalnya pemerintah menjaga dan melestarikan lingkungan yang akhirnya berdampak buruk dan makan korban," tegasnya. (wy)
Editor : Eriandi