PADANG - Di Palopung, Desa Lunto Timur Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto. Desa dengan perbukitan berjarak 7 kilometer dari pusat Kota Sawahlunto kini bergerak menjadi pusat Songket, Songket Silungkang.
Sebelum 1999, di tahun saat ekonomi Indonesia runtuh terhenyak ke bawah. Desa Lunto Timur sudah banyak memproduksi songket. Bahkan juga menjadi sumber pendapatan bagi sejumlah warga di sana.
Namun masa itu hilang setelah krisis moneter. Sejumlah usaha songket tutup, satu persatu gulung tikar. Warga tidak bisa lagi mengandalkan songket untuk pendapatan, karena daya beli jauh menurun.
Kini, Lunto Timur akan kembali mengulang masa lalunya. Warga Kembali bergairah menenun songket. Membuat songket sungguh menjanjikan.
Seperti yang dipilih oleh Anita Dona Asri, (38), warga Lunto Timur. Mewarisi keterampilan menenun dari ke dua orang tuanya. Dia lebih memilih menjadi penenun daripada menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pilihannya tidak salah, Dona sudah melibatkan sebanyak 29 orang penenun bekerja memenuhi pesanan songket. Dona juga berambisi menjadikan Palopung pusat edukasi pemahaman terhadap songket. Agar songket abadi menjadi karya budaya Sumatera Barat."Saya memang kuliah, ambil jurusan bimbingan dan konseling di Universitar Negeri Padang. Tapi dari awal sudah bertekad melajutkan usaha songket," sebutnya dihubungi dari Padang.
Bagi Dona menenun bukan hanya urusan materi semata. Tapi jauh lebih besar, yakni agar karya-karya bernilai dari tanah kelahirannya yakni songket Silungkang tidak punah dan sebaliknya bisa mendunia.
Ada pesan dan filosofi yang terkandung dalam motif-motif Songket Silungkang. Sehingga akan sangat rugi budaya dan karya menenun songket ini tidak ada penerusnya.
Belajar menenun sejak kelas 3 SD dari orang tuanya, anak dari pasangan Syamsamir Rajo Alam dan Nuryati terus mengembangkan kemampuannya secara otodidak.
Editor : yoserizal