PADANG - Asosiasi Kopi Minang (AKM) punya nakhoda baru, Akmal Yusmar, periode 2024 - 2027. Terpilihnya putra Sonsang, Tilatang Kamang, Kabupaten Agam ini punya tugas berat untuk "mambangkik batang tarandam" perkopian Minang ke pentas nusantara dan dunia.
"Saat ini kesempatan baik harga kopi dunia lagi naik, penikmat kopi makin banyak, permintaan ekspor makin tinggi. Asosiasi ini sangat penting untuk menjembatani kepentingan petani dengan pengusaha kopi, pemerintah dan stakeholder lainnya. Hubungan yang saling menguntungkan," ujar Akmal yang terpilih dalam musyawarah AKM, pada 12 Juni kemarin.
Dalam hal ini, jelas Akmal asosiasi harus memantapkan organisasi yang bermanfaat bagi anggota, melakukan rebranding, refocusing hulu kopi Minang dan jangka pendek akan membuat film documentary dan buku yang terkait dengan perkopian.
Salah satu tujuan rebranding sebuah strategi pemasaran agar tidak ketinggalan zaman sekaligus upaya mendekatkan diri dengan lebih banyak konsumen. Selain itu, kegiatan ini bertujuan membangun image atau identitas baru sehingga mampu bersaing kembali di pasar.
"Dengan maraknya penguna medsos, media ini bisa dimanfaatkan secara masif dan terukur, terutama menyentuh kalangan anak muda dan luar negeri," jelas Akmal pendiri flatfom Youtube Helmi Yahya ini.
Sedangkan refocusing hulu kopi Minang dengan menggalakkan menanam kopi kembali dengan bibit unggul dan memantapkan proses pengolahan memakai teknologi pertanian."Dengan sentuhan teknogi kita harapkan bisa menarik Anak-anak muda menjadi petani kopi," jelasnya.
Tidak kalah penting tambah Akmal menulis tentang sejarah perkopian di Minang sejak zaman Belanda. Melalui pembuatan buku dan film documentary. Untuk motivasi bahwa kopi Minang itu sudah mendunia awal abad 19 lalu.
Dicatat dalam buku sejarah kopi Minang sempat berjaya pada zaman penjajahan Belanda dulu, dituangkan dalam skripsi doktor oleh W.K Huitema dari University Wegeningen, Belanda.
Dalam tulisanya W.K Huitema mengulas tentang keberadaan kopi Minang sebagai penyumbang bibit untuk ditanam ke tanah Gayo di Aceh.
Editor : Bambang Sulistyo