“Pantun ada yang membuatkan,” kata Mahyeldi. Soal pantun, Irwan juara. Akurasinya mantap.
Panas terik sekali, pagi-pagi sudah tak tahan, kursi tamu menghadap pula ke matahari itu, akhirnya terpaksa digeser ke belakang, agak lindok.
Dan, perwakilan keluarga besar Syekh Ahmad Khatib pun berpidato dalam Bahasa Arab, untung ada penerjemah Ust
Rohimul Amin penerjemah. Maka mengertilah hadirin dan hadirat. Diterjemahkan atau tidak, pidato Bahasa Arab-nya yang seperti air mengalir itu, membuat beberapa emak-emak yang berdiri di sayap kiri pentas, khusu’ mendengar,nyaris tak berkedip.
Sementara itu, hadirin mendapat suguhan air Zamzam dan kurma. Ini baru sero asli, dibawa oleh orang Saudi Arabia.
Lalu pemberian nama diresmikan setelah asbabun nuzulnya dijelaskan panjang lebar oleh Ketua MUI Gusrizal Gazahar dan Gamawan Fauzi.
Kata Gamawan, ide pembangunan masjid itu, lantaran tidak ada masjid sebesar dan sebagus itu di Sumbar. “Buatlah satu lihat Makassar,” kata Wapres Jusuf Kalla waktu itu pada Gamawan, saya tahu itu, tapi Gamawan lupa menyampaikannya. Pemilihan nama kata Gusrizal telah diputuskan MUI dalam rapat berkali-kali ketika masjid sedang dibangun.Rizal Muslimin adalah arsitek masjid ini. Karyanya memenangkan sayembara internasional yang diketuai Wisran Hadi anak Buya Darwas Idris.
Kalau bersejarah panjang. Bia dikumpa nak nyo singkek, kalau tak salah dengar saya, itu kata Gamawan Fauzi. Maka, kemudian ditandatanganilah prasasti dan dibuka selubung papan nama.
“Ambo pai lu, ado acara ciek lai,” kata Gamawan pula. Lalu melangkah pergi sambil membawa buku saya yang baru saja diluncurkan bersama buku Sejarah Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi yang ditulis Hasril Chaniago dkk. Hasril tak hadir karena ia baralek. Anaknya baralek dia tentu tak bisa kemana-mana.
Editor : Eriandi