BANJARMASIN - Lalulintas padat, pesawat Garuda yang saya tumpangi berpusing 7 kali putaran di atas Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, Rabu petang (10/7).
Pilot mengumunkan agar penumpang maklum. Dan, memang maklum. Delay dari Soekarno Hatta satu jam saja mereka terima. Penjelasannya, “pesawat terlambat dari penerbangan sebelumnya.” Garuda gitu deh. Pesawat itu dari Gorontalo ke Jakarta dan terbang ke Banjarmasin.
Garuda nomor penerbangan GA 532 itu pun terbang selama 90 menit. Terbang dengan nyaman, sesekali guncangan kecil. Tapi, Itu tadi, berputar-putar tujuh kali. Sekitar 10 menitlah. Bukan itu yang menarik bagi saya, tapi terminal bandara ini penuh, makanya ororitas bandara minta Garuda bersabar untuk mendarat. Ada tujuh pesawat yang sedang parkir, termasuk pesawat yang saya tumpangi. Semua belalai atau garbarata terpakai. Penumpang ramai. Kalah Bandara Internasional Minangkabau di kampung kita. Lebih besar pula.
Bandara di kota-kota Kalimantan memang ramai, seperti Balikpapan dan Samarinda. Juga Banjarmasin ini.
Saya sudah lama tak ke kota yang warganya memakai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Di sini, kita belum kehilangan Indonesia secara menyedihkan di kafe dan mall, meski sudah tampak gejalanya. Beda dengan Jakarta, huruf sama, tulisan Inggris semua di seluruh mall. Mereka yang punya mall di Jakarta sudah tidak mencintai Indonesia lagi.
Hari ini saya datang lagi ke Banjarmasin. Kali ini untuk mengajar di Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI). Agak menterang ya.Kota tanpa gempa ini, walau pernah sekali bergoyang “halus”, berbanding terbalik dengan Padang.
Banjarmasin, penduduknya hampir 700 ribu jiwa. Yang di sini ekonomi 15 tahun lalu digerakkan oleh barubara setelah kayu. Sekarang batubara mulai bangun lagi dari tidurnya.
Angka-angka itu bisa saya cek di google, tapi pesawat putar-putar karena terminal padat, adalah kejadian yang tidak ada di mbah gugel. Di Padang sering pula berputar tapi karena cuaca. Garuda penuh, kosong di kelas bisnis. Ada tapi sedikit saja. Di sebelah saya ada bapak-bapak, yang gampang saja dia tidur. Sebelahnya perempuan yang sebelum berangkat saya lihat berzikir. Waktu terbang saya putar dendang Minang bunyinya terdengar oleh saya saja karena ditalikan ke telinga. Di depan seseorang nonton film laga Jason Bourne.
Dan saya melaju ke hotel tempat acara diantar seorang warga di sana Gatot Wahyu, yang ingat anaknya di Jogja. Juga istrinya. Tapi walau sudah dekat hotel saya masih ingat pesawat putar-putar itu, bukan karena cuaca buruk, tapi karena bandara padat.
Editor : Rahmat