Aci Indrawadi
Orang Indonesia sekarang sudah tidak peduli dengan hak-hak sipilnya, kecuali segelintir. Yang miskin, risau dengan hidupnya sedangkan yang mapan, peduli dengan standar hidupnya saja. Hak sipil, urusan orang lain sajalah.
Hak-hak sipil rakyat dirampas, demokrasi dibegal, bagi rakyat kebanyakan, ini hanya jadi sengatan bak kejutan listrik di ujung kabel pencas telepon genggam. Mayoritas rakyat merasa sakit sebentar, setelah itu, “ya bagaimana lagi.” Pepatah Minang menyebut, “dek padi manjadi, dek ameh, kameh (karena padi, menjadi, karena uang segala bisa.”) Segalanya bisa diatur dan didapat jika punya uang dan kekuasaan.
Raungan kebebasan dan suara permintaan akan hak-hak sipil dan kampanye demi rakyat, hanyalah jargon. Semua itu sekarang, berada di posisi “elok bunyi dari rupa.” Bunyinya saja yang bagus, kenyataan tidak. Dan begitulah, perjuangan untuk hak-hak sipil, demokrasi, hukum, keadilan sosial, akan sia-sia.
Ini disebabkan, begitulah tipikal negara berkembang dimanapun di dunia. Rakyat sudah seperti “kuda hanyut” tak jelas apa yang akan digapai. Sebagian seperti ranting hanyut, tanggunglah nasibmu sendiri-sendiri entah kemana akan dilarikan arus sungai. Urusanmu itu, urusan saya beda, pusing, ribet, “kami ingin hidup tenang, terserahlah soal demokrasi.”
Standar utama kehidupan rakyat adalah, jangan ada masalah di atas rumah. Beribadah nyaman, keluar rumah aman, ada uang di saku. Untuk uang itulah orang bangun pagi dan pulang senja hari, berapapun yang didapat. Uang, bekerja sendirian membangun peradaban dan cara pandang. Itulah yang membuat timpang dan lahirnya kelompok kaya-miskin. Dalam keadaan rakyat semacam itulah, hak-hak sipil, demokrasi dan hukum dimainkan. Sejak negara ini ada, hal itu sudah jadi kerisauan elite bermoral. Elit yang lain, melakukan pengkhianatan. Ujung-ujungnya memperkaya diri sendiri. Itulah cara kerja uang.Semua masalah yang ada sekarang, memang karena uang. Dunia, juga Indonesia, diatur oleh uang, semua yang dipersengketakan sekarang, termasuk mengambil kekuasaan, demi uang. Uang sedang bekerja, sebab jika diam, maka itu, bukanlah uang.
Pembegalan demokrasi, sebagaimana disebut khalayak, jelas demi uang, diambil dulu kekuasaan. Tidak ada pengabdian di lembaga manapun sekarang. Jadi, wajar ada penolakan keras atas sikap DPR yang membegal putusan MK. Namun, biasanya semua sudah diperhitungkan. Arus penolakan, telah dideteksi, tak lebih dari sekadar letupan emosi, yang terpecah-pecah, sehingga jika diledakaan, emosi itu takkan menghasilkan apapun, kecuali kepanikkan rakyat.
Demokrasi yang dikasim atau dicangkok, memang begitu. Ia tidak tumbuh di tanah, tapi di batang. Baru kemudian diambil dan ditanam di atas tanah. Prosesnya tidak baik, buahnya tidak bagus. Kasus pembegalan putusan MK oleh DPR, dengan wajah yang sama sudah sering terjadi di Indonesia. Kasus-kasus sebelumnya, bak di lobang pagar, “lalu kapalo, lewatlah badan, (jika masuk kepala, maka badan bisa masuk,”) artinya, jika ada celah, maka keinginan elite bisa dicapai.
Sudah terbukti, sejak kita merdeka. Dan, juga terbukti, di atas pentas perjuangan, banyak kelompok dan kepentingan sehingga mereka berjuang untuk itu. Di zaman awal kemerdekaan saja ada kelompok yang disebut, “bandit-bandit revolusi,” apalagi sekarang. Parpol saja banyak, cara cakap pimpinannya manis-manis, seolah demi bangsa dan negara, nyatanya untuk kepentingan kelompok.
Editor : Rahmat