Khairul Jasmi
Seorang perempuan berhijab melintas di halaman Masjid Qianmen, Beijing, Tiongkok, Sabtu (31/08/2024). Dia orang pertama yang berhijab di kota ini, yang saya lihat. Kemarin, di Masjid Tian Mu, Tianjin ada beberapa perempuan penutup rambutnya tapi bukan hijab. Malam ini, tatkala masuk rumah makan halal, semua pelayanan perempuan berhijab.
Di Masjid Qianmen, kami ditemani Ustad Ding Zijun, pria 69 tahun, yang menjaga masjid itu. Berkupiah haji. Dia yang membukakan pintu gerbang. Ketika dia diberitahu kami muslim dan ingin Shalat Zuhur, ia mengarahkan agar segera berwuduk.
Seperti buku panduan shalat, kami disuruh bersuci dulu. Setelahnya berkumur-kumur, membersihan jari- jemari, baru berwuduk. Ada handuk kecil untuk mengeringkan kaki. Kaos kaki mesti dipakai untuk masuk masjid. Shalatlah kami.
Mesjid berusia 5 abad ini pada Juli 2009 ditetapkan sebagai cagar budaya. Ini, dilakukan Unit Perlindungan Peninggalan Budaya Distrik Xicheng.
Masjid ini dibangun zaman Dinasti Ming pada awal abad 16. Lalu direnovasi pada 1680 dan 1795.“Masjid kami telah berusia lebih 500 tahun itu dinamakan Masjid Saozhou pada zaman dahulu kerana berhampiran dengan Jalan Saozhou. Pada 2000, nama masjid itu ditukar jadi Qianmen,” kata Ustad Ding.
Kecil saja, didominasi warna merah. Dijaga oleh sekitar 2.300 atau 800 KK muslim yang tinggal di sekitar masjid dalam gang tersebut. Ada Al-Qur’an tulisan tangan dari Asia Barat masih tersimpan di masjid ini.
Masjid ini tak sendirian di Beijing. Banyak, yang terbesar Masjid Doudian. Bahkan di China Utara. Tapi, yang amat berwibawa memang masjid kecil itu. Untuk sampai ke masjid cagar budaya tersebut, perlu jalan kaki agak sekejap, masuk gang yang bisa dilewati mobil. Tak jaug dari jantung Beijing. Yang jauh berjalan justru di Kota Terlarang. Sepenat-penatnya.
Dua rumah ibadah yang berusia berabad-abad ini, cukuplah untuk menjelaskan bahwa beragama di kota ini, sepertinya oke-oke saja. Bahwa umat beragama tidak semua datang, itu urusan lain pula. Saya juga tidak tahu.
Editor : Rahmat