Kota Terlarang, Seribu Kamera tak Cukup

×

Kota Terlarang, Seribu Kamera tak Cukup

Bagikan berita
Kota Terlarang, Seribu Kamera tak Cukup
Kota Terlarang, Seribu Kamera tak Cukup

Khairul Jasmi

Jika tahu, akan sejauh dan sepenat ini menelusiri Kota Terlarang, maka saya takkan masuk. Masuk pun, tidak sampai setengah terjalani. Jika ribuan orang yang datang pada Sabtu (31/08/2024) diperintahkan memotret apa saja dalam komplek Istana itu, niscaya sehari takkan selesai.

Ada istana di dunia seperti ini, kerek saya. Usianya 504 tahun sampai 2024, sebab dipakai 1420, setelah dibangun 16 tahun lamanya. Namanya Kota Terlarang, kenapa itu pula diberi nama? Panjang ceritanya. Yang jelas saya masuk. Untuk itu mesti berjalan kaki lebih dari sekilo, dua kilo mungkin. Itu belum masuk, baru sampai jalan arah pintu utama. Jalan lagi, kira-kira saja, sekilo-lah.

Bertemulah gerbang utama. Masuk. Pakai detektor, lebih dari masuk pesawat. Korek api, jangan dibawa. Masuklah. Ada alat yang bisa disewa, untuk pemandu dipasang ke telinga, bisa Bahasa Indonesia. Bertemu pintu besi, tebalnya 20 Cm. Berdaun dua. Tinggi jangkung. Bercat merah hati.

Itulah puntu gerbang, dengan langit-langit beton melengkung, seperti terowongan. Panjang pula. Di ujung sana Anda disergap lapangan luas dengan batu-batu alam sebagai lantainya. Jika dikelilingi lapangan itu, penatlah. Jangan, lihat-lihat sajalah. Melaju terus ke depan, ada jembatan karena di bawahnya kanal, tipikal istana dan kastil di Eropa. Jembatan melengkung itu, punya tangan-tangan. Berfotolah saya di sana dengan sepasang remaja berpakaian tradisional Tiongkok. Gratis alias perai.

Sementara itu, suara pemandu terdengar jelas. Kalau didengar dengan seksama, apalagi disimak baik-baik, setelah selesai suara itu memandu, maka Anda pula yang akan jadi pemandu, jadi jangan didengar benar.

Di depannya ada Istana. Tinggi. Jika dibanding sekarang, sama dengan gedung 10 tingkat. Ini tak bertingkat, tapi letaknya ditinggikan, dengan pondasi dari marmet putih dan ada hiasan naga. Istana terbuat dari kayu.

Di halaman istana ada alat pengukur waktu di sebelah kiri dan berat di sebelah kanan. Sekarang kita tercengang, dulu lumrah bagi Tiongkok dan Mesir, dua bangsa di dunia yang peradaban kunonya, tak terikuti oleh bangsa manapun di dunia, entah oleh Yunani dan Romawi dan peradaban Pulau Kreta di Laut Tengah. Kecuali China, maka semua yang saya sebut barusan, bertali-temali peradabannya.

Setelah itu, di samping- menyamping, di belakangnya ada lagi istana. Ada lagi di belakang itu. Ada lagi. Sensa saya dibuatnya. Ada yang terjauh di sebuah bukit, tempat kaisar membuat puisi bersama selir, dari sana tampak saja di bawah istana permaisuri.

Di balik istana permaisuri ada tangga lagi, di tengahnya dibuat lukisan naga di atas satu baru marmar tak putus, sepanjang 17 meter. Batu alam itu dibawa ribuan orang dari jarak ratusan kilometer digelindingkan di atas jalan berlapis es saat musim dingin. Ditarik kuda-kuda yang kuat. Hehei, begitu benarlah rakyat China mengabdi pada sang kaisar yang amat dihormati.

Editor : Rahmat
Bagikan

Berita Terkait
Terkini