Khairul Jasmi
Ada garis api yang tidak boleh dilewati oleh pemegang kekuasaan. Jika dilewati, adab pindah ke lutut. Untuk melewati garis api itu, selalu, “mana undang-undang yang dilanggar? Tidak ada aturannya kan?”
Akal-akalan. Seribu akal, lalu kapalo, lalu badan, seperti kucing masuk rumah lewat lobang kecil di pagar. Kucing tak tahu adab. Manusia tahu, tapi tak dipakai.
Itulah yang sedang terjadi di Indonesia. Di Dunia Pertama hampir tidak. Di Dunia Kedua dan apalagi Dunia Ketiga, jadi air mandi. Kebiasaan.
Mengakali aturan, agar dapat yang diinginkan, merupakan kepandaian elite di Dunia Ketiga. Lalu didukung oleh pihak lain secara luas. Itulah pengkhiatan intelektual.
Keluhan dan protes awam bahwa yang benar disalahkan dan yang salah didukung ramai-ramai, adalah sebuah perhelatan yang menakutkan.
Orang takut berkata benar, karena rakyat sudah tak peduli dengan hak-hal sipilnya. Mereka tersedot urusan standar kehidupan yang tak kunjung membaik. Kemiskinan meluas, tanpa ada tindakan hebat untuk menangkalnya.Ada tawaran-tawaran, namun dalam kalimat yang tidak operasional. Teori saja, hampir sama dengan nasihat cendikiawan pada orang biasa. Karena tidak operasional, maka jalan keluar yang ditawarkan elite dan penguasa akhirnya menjadi candaan. Bahan bagi tukang arak lapau simpang, kala membuka ota pagi hari, saat kopi diseruput.
Elite pengkhiatan melahirkan kelompok muda yang akan berkhiatan pula. Mewariskan keterampilan bersilat lidah tanpa adab. Dalam keadaan seperti itulah, muncul sekelompok kecil orang, tapi menjadi ranting hanyut, di tepi arus utama yang kuat.
Mengeluhlah orang tua, anaknya tidak dapat kerja. Dicari dan dicari tak dapat juga, umur terus bertambah bersama cinta yang kian bersemi. Menikah juga kesudahan kaji.
Editor : Rahmat