Indonesia sedang dalam perjalanan merawat demokrasinya. Tapi, tak jarang dalam perjalanan itu, demokrasinya malah tersandung dan jatuh pingsan. Begitulah gambaran dari insiden yang terjadi pada Sabtu pagi ini (28/09/2024) di Hotel Grand Kemang, Jakarta.
Sebuah diskusi kebangsaan yang dipimpin oleh beberapa tokoh nasional seperti Din Syamsuddin dan Refly Harun, tiba-tiba diinvasi, diduduki, dan dihancurkan oleh sekelompok OTK (orang tak dikenal) —atau lebih tepatnya, “OTK dengan nama depan Anarkis dan nama belakang Preman.”
Bayangkan sebuah skenario: Para cendekiawan dan aktivis nasional berbicara dengan santai tentang masa depan bangsa, ketika tiba-tiba sebuah komando mobil parkir di depan hotel, bukan untuk ikut seminar, tapi untuk mengusung "agenda alternatif" mereka - membubarkan acara.
Mereka masuk ruangan dengan brutal. Tanpa kata babibu, mereka yang berbaju hitam-hitam langsung saja mencopot spanduk, merusak properti, dan meneriakkan slogan-slogan heroik yang membuat siapa pun di ruangan tersebut merasa seperti sedang berada di film aksi kelas B.
Din Syamsuddin, yang terkenal sebagai tokoh pluralis, tentunya tidak tinggal diam. Usai kengerian itu, dengan tenang dia bersama para aktivis lainnya tampil di hadapan para wartawan. Dia menyatakan bahwa aksi ini adalah sebuah “kejahatan demokrasi.”
Jangan-jangan, di negeri ini, "kejahatan demokrasi" sudah menjadi lumrah. Jika demokrasi itu manusia, mungkin sudah sering kali ia harus dirawat di ICU akibat kejadian seperti ini. Aksi membubarkan diskusi yang seharusnya menjadi ruang bertukar pikiran merupakan cerminan bahwa sebagian dari kita sudah mulai alergi dengan ide dan kata-kata.
Ada hal menarik dari kejadian ini: kelompok OTK tersebut sempat dihadang oleh polisi, namun sayangnya polisi hanya "siaga diam". Mungkin polisi kita terlatih dengan konsep meditasi: diam di tengah kericuhan, sambil mengatur nafas.Atau, mungkin mereka sedang mempersiapkan langkah catur berikutnya, siapa tahu? Yang jelas, menurut para saksi, polisi lebih memilih menjadi penonton ketimbang jadi aktor penyelamat dalam adegan yang sudah jelas memerlukan intervensi.
"Polisi sebagai pelindung dan pengayom rakyat," begitulah bunyi slogan kebanggaan mereka. Tapi hari itu, slogan itu lebih terdengar seperti lelucon yang tak lucu.
Para peserta diskusi berharap ada perlindungan dari polisi yang hadir, tapi yang mereka dapatkan hanya pemandangan aparat yang berdiri kaku seperti patung lilin. Mungkin mereka sedang memikirkan makna mendalam dari kata ‘demokrasi’, sehingga melupakan bahwa di depan mereka, demokrasi sedang dipukuli oleh para OTK.
Editor : Rahmat