Arah Perkembangan BPR/BPRS

×

Arah Perkembangan BPR/BPRS

Bagikan berita
Arah Perkembangan BPR/BPRS
Arah Perkembangan BPR/BPRS

DR, Elyana Novira SH MH. - Dosen Fak Hukum Universitas Bung Hatta

Bank Perekonomian Rakyat, demikanlah kepanjangan BPR saat ini. Bukan lagi seperti sebelumnya yaitu Bank Perkreditan Rakyat. Lahirnya Undang-undang No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memang membawa BPR ke arah penyesuaian,terutama dalam hal diberikannya ruang lebih luas untuk berkembang melalui penguatan kelembagaan serta perluasan kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS. Kegiatan usaha dan aktivitas BPR dan BPRS memang tidak akan dapat dihidari dari berbagai risiko yang menyertainya. Berdasarkan data sebaran BPR di pulau Sumatera, maka Sumatera - Barat merupakan propinsi yang memiliki BPR terbanyak di Pulau Sumatera, yaitu 67 BPR, setelah itu berturut- turut di bawah Sumatera-Barat : Kepulauan Riau 44 BPR, Riau 28, Sumatera – Selatan 24, Lampung 23, Jambi 19, Sumatera- Utara 15, Bengkulu 5,Bangka Belitung 4, Nangroe Aceh Darussalam 2. (Sumber: OJK : Roadmap pengembangan dan penguatan industri BPR-BPRS 2024-2027), Demikian pula sebaran BPRS di Pulau Sumatera, Sumatera-Barat tetap memimpin sebagai propinsi terbanyak memiliki BPRS, yaitu 13 BPRS, diikuti oleh : Nangroe Aceh Darussalam 12, Lampung 11,Sumatera Utara 6, Riau dan Bengkulu sama-sama memiliki 3 BPRS, Kepulauan Riau 2,Sumatera-Selatan dan Bangka Belitung sama-sama memiliki 1 BPRS,terakhir jambi yang tidak memiliki BPRS.

Persoalan yang melilit BPR/BPRS sejak lama berupa permodalan yang masih rendah, tata kelola yang belum optimal,dan persoalan manajemen risiko, kuantitas dan kualitas infrastruktur meliputi teknologi-informasi dan sumber daya manusia yang belum memadai, serta kontribusi BPR/BPRS di wilayahnya yang masih tergolong rendah.

Berbagai langkah yang dijalankan oleh OJK dengan menuangkannya pada berbagai Peraturan Otorias Jasa keuangan (POJK) tentu tidak bisa dinafikan, merupakan langkah- langkah yang bertujuan agar berbagai masalah yang melilit BPR/BPRS, dapat diuraikan, diantaranya:

  1. Permodalan

Aspek permodalan guna menunjang terjadi dan berjalannya fungsi intermediasi industri BPR/BPRS secara optimal,sehingga penyaluran kredit/pembiayaan mengalami peningkatan. Dampak lain dari penguatan aspek permodalan dapat mengurai lilitan masalah tata kelola (kualitas, kuantitas pengurusan dan SDM), manajemen resiko serta standar penyelenggaraan teknologi informasi. Selain itu aspek permodalan yang semakin kuat juga dapat mendorong pemenuhan insfrastruktur dalam mendukung kagiatan usahanya.

POJK No. 5/ POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR diterbitkan dalam tujuan memperkuat permodalan BPR. Bagi BPR yang memiliki modal inti kurang dari 3 miliar, wajib memenuhi modal inti minimum 3 miliar, paling lambat 31 Desember 2019. Pada tanggal 31 Desember 2024, maka menjadi tanggal terakhir bagi BPR untuk mencukupkan modal inti minimum yaitu 6 miliar rupiah. Tentu ketentuan ini memberikan pemahaman, mulai Januari 2025 tidak ada lagi BPR yang memiliki modal inti kurang dari 6 miliar rupiah.

Agar mencapai modal inti yang dipersyaratkan, BPR/BPRS bisa melakukan langkah-langkah antara lain dengan menarik investor baru, atau penggabungan, atau peleburan dengan BPR/BPRS lain. Opsi lain adalah dengan Sefl Liquidation dan selanjutnya mencari bentuk atau jenis usaha yang lebih sesuai. OJK juga telah mengeluarkan POJK No. 62/POJK.03/2020 tentang BPR. Pada POJK tersebut, ditetapkan modal disetor pendirian BPR paling sedikit 100 miliyar bagi BPR zona 1, 50 miliar bagi BPR zona 2, dan 25 miliar bagi BPR zona 3. Berdasarkan lampiran bagian A pada POJK No.62 tersebut, maka propinsi Sumatera Barat termasuk zona 2, sama hal nya dengan propinsi lain di Pulau Sumatera, propinsi di Pulau Kalimantan, propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

Pada tanggal 2 maret 2022, OJK menerbitkan POJK No. 3/POJK.03/2022 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BPR dan BPRS. Pada POJK tersebut diuraikan BPR dan BPRS wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan BPR dan BPRS dengan menggunakan pendekatan resiko, dengan cakupan penilain terhadap faktor: profil resiko, tata kelola, rentabilitas dan permodalan. OJK melakukan penilaian kesehatan BPR dan BPRS setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. Dengan demikian penilaian faktor permodalan menjadi fokus penilaian penting, sehingga kemungkainan terjadi kerugian akan dapat diserap.

Editor : Rahmat
Bagikan

Berita Terkait
Terkini