-
Kepemilikan dan Bentuk Badan Hukum
Harmonisasi bentuk badan hukum BPR dan BPRS perlu dilakukan agar amanat yang tertuang pada UU P2SK tidak bertentangan dengan peraturan pelaksananya. Pada POJK No. 7 tahun 2024 tentang BPR dan BPRS jelas menyatakan BPR dan BPRS berbentuk badan hukum. (a) Perseroan terbatas, atau (b) Koperasi. Dibandingkan dengan pengaturan mengenai bentuk hukum dari BPR pada Undang-Undang No.10 tahun 1998 sebagai Undang-Undang yang merubah Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, maka pilihan bentuk hukum BPR adalah: (a) Perseroan Terbatas, (b) Koperasi, (c) Perusahaan Derah. Sejalan dengan aturan menggenai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada Undang-Undang Pemeritah Daerah (UU No. 9 tahun 2015 yang merubah UU No.23 tahun 2014) , BUMD terbagi atas: Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) dan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Tentunya jelas bagi BPR tidak ada pilihan untuk memilih bentuk hukumnya adalah Perumda. Berdasarkan POJK No.7 tersebut, bagi BPR yang berbentuk Perumda dapat melakukan penggabungan, peleburan atau pengambil alihan atas inisiatif sendiri atau perintah OJK. Secara umum aturan mengenai penggabungan atau pelaburan dapat dilakukan antara: BPR dan BPR menjadi BPR, antara BPR dan BPR Syariah menjadi BPR Syariah atau, antara BPR Syariah dan BPR Syariah, menjadi BPR Syariah.
Bagi Perusahaan Perseroan Daerah, sesuai dengan POJK no 7 tahun 2024, adalah termasuk kategori Perseroan Terbatas, sehingga terang benderang bagi BPR atau BPRS dapat saja kepemilikan saham di dalamnya adalah berasal dari Pemerintah Daerah Propinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten ataupun Kota.
Perubahan yang cukup signifikan dengan terbitnya UU P2SK adalah mengenai kepemilikan BPR dan BPRS. UU P2SK memberi ruang bagi asing untuk menjadi pemilik BPR dan BPRS. Pada Pasal 3 POJK No.7 tahun 2024, menyatakan: BPR dan BPRS didirikan oleh (a) Warga Negara Indoesia dan/ atau : (b) badan hukum Indonesia.
Berdasarkan dua titik fokus penelusuran diatas, timbul suatu pertanyaan, latar belakang apakah yang menjadi dasar bagi pembentuk Undang-Undang memberikan peluang masuknya unsur asing menjadi pemilik BPR/BPRS. Penjelasan yang ada menyatakan posisi BPR dan BPRS yang strategis terutama untuk meningkatkan perekonomian masyarakat . khususnya usaha mikro dan kecil, serta perlunya penguatan aspek kelembagaan indusri BPR dan BPRS, demikianlah yang tertuang pada penjelasan POJK mengenai BPR dan BPRS, namun tidak ada alasan khusus ataupun landasan filosofi menjelaskan perlunya penguatan modal dengan membolehkan asing masuk ke industri BPR dan BPRS. Jika melihat dari sisi penguatan permodalan bagi BPR/BPRS, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapt dibantah, permodalan yang besar tentu berasal dari Negara-negara asing yang maju. Apalagi UU P2SK juga memberikan keleluasaan bagi BPR/ BPRS untuk melantai di bursa (Intial Public Offering). Menjadi jelas bagi kita, kesempatan menarik investor asing akan semakin leluasa. Dalam konteks sebagai Negara yang berdaulat, hendaknya pengaturan kepemilikan asing bagi BPR/BPRS, diatur dalam regulasi yang jelas dan ada pembatasannya. Belajar dari masa lalu pada saat dibukanya keran bagi asing untuk menjadi pemilik Bank Umum yaitu hingga 99%, banyak pihak yang bereaksi bahwa keleluasaan yang sangat besar bagi asing tersebut seakan-akan menjadikan Negara Indonesia telah mengalami penjajahan ekonomi.BPR/BPRS yang memiliki permodalan kuat, diharapkan juga sehat, kinerja yang lebih baik serta memiliki ketahanan dan daya saing yang tinggi, namun dari sisi kepemilikan ternyata pemilik BPR atau BPRS tersebut sudah didominasi oleh asing, seperti itulah arah perkembangan yang akan terjadi bila kita telisik dan teropong masa akan datang melalui berbagai regulasi yang telah mulai berlaku bagi BPR/BPRS pada saat ini. Wallahu’alam.
Editor : Rahmat