Wajah Baru Parlemen

×

Wajah Baru Parlemen

Bagikan berita
Wajah Baru Parlemen
Wajah Baru Parlemen

Catatan Cak AT -Pendiri Republika Online 1995

Wajah-wajah baru wakil rakyat sudah masuk Gedung Senayan. Tapi, tunggu dulu. Apakah "baru" di sini benar-benar berarti segar, penuh aspiratif, dan siap bekerja keras untuk rakyat? Sesuai namanya, wakil rakyat, bukan petugas partai!?

Atau ini hanya soal ganti pemain, tapi dengan skrip yang sama, mungkin sedikit lebih licin dan dipoles lebih halus? Ah, harapan kita sering kali terlalu mewah untuk sekadar berharap wakil rakyat yang benar-benar wakil.

Mari kita mulai dengan perpisahan manis para wakil rakyat 2019-2024. Mereka tampaknya sangat puas dengan kinerja mereka. Kenapa tidak? Bukankah mereka bahkan memberi penghargaan kepada diri mereka sendiri?

Mereka menciptakan sebuah pin, bukan dari emas memang, tapi dengan makna simbolis yang menandakan betapa luar biasanya mereka. Iya, betul, penghargaan dari mereka untuk mereka. Ini mungkin inovasi demokrasi terbaru — _self-rewarding_, karena siapa lagi yang akan tepuk tangan kalau bukan diri sendiri, kan?

Sementara itu, rakyat yang diwakili? Ah, mereka mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, demonstrasi, atau hanya berusaha bertahan hidup di tengah berbagai kebijakan yang, kalau kata anak zaman sekarang, bikin "geleng-geleng kepala".

Cipta Kerja, misalnya. Ya, undang-undang yang dilahirkan DPR bersama pemerintah di tengah protes keras dari segala teras. Dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, tapi siapa peduli? Itu maunya Presiden Jokowi, yang dilegitimasi DPR.

Bukannya dimasukkan ke kotak, atau setidaknya diperbaiki, malah diberi nyawa kedua melalui peraturan pemerintah, namun DPR diam saja. Ini mungkin salah satu bentuk "resiliensi" politik —undang-undang bisa jatuh, tapi selalu bangkit kembali, layaknya zombie di film horor.

Lalu ada Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN). Ah, Jakarta sudah lelah, katanya, biarkan Kalimantan Timur mengambil-alih sebagai ibu kota baru. Tapi tunggu, mana Keputusan Presiden (Keppres)-nya? Jokowi tampak mencla-mencle. Mau pindah, tapi tidak ada gedung MPR di Kalimantan.

Jadi bagaimana pelantikan presiden dan wakil presiden nanti? Di Jakarta? Eh, tapi Jakarta bukan ibu kota negara lagi, dong? Wah, wah, apa ini berarti kita bersiap melanggar UUD? Sepertinya pindah ibu kota negara ini bukan sekadar urusan paku-palu gedung baru, tapi penuh implikasi konstitusional yang ribet.

Editor : Rahmat
Bagikan

Berita Terkait
Terkini