Dan tentu saja, Komeng tidak sendiri. Di antara anggota parlemen baru, ada juga Denny Cagur dan selebriti-selebriti lainnya. Sepertinya rakyat Indonesia kali ini ingin diwakili bukan oleh politisi serius, tapi oleh pelawak yang bisa membuat mereka tertawa di tengah segala hiruk-pikuk kehidupan.
Tapi apa artinya ketika rakyat memilih pelawak jadi wakil mereka? Apakah ini cermin betapa seriusnya mereka dalam melihat situasi politik, atau justru sebaliknya? Ketika politisi sudah tidak bisa dipercaya lagi untuk mengatasi masalah negara, mungkin kita memang butuh pelawak untuk mengatasi stres harian.
Siapa peduli tentang RAPBN atau UU Omnibus Law? Selama ada yang bisa bikin ketawa, semua masalah terasa lebih ringan. Cobalah, mungkin kita bisa menyelesaikan krisis ekonomi dengan selembar kupon gratis _stand-up comedy._
Namun jangan sampai tertawa terlalu keras, karena di balik panggung komedi ini, politik tetap berjalan stagnan. Dari 575 anggota DPR dari 80 daerah pemilihan, yang baru dilantik, 54 persennya adalah petahana.
Ya, wajah-wajah lama yang entah kenapa sepertinya sudah punya mantra magis untuk terus terpilih. Tak ubahnya serial TV yang sudah berkali-kali di-reboot, tapi pemerannya masih sama.
Mereka ini ibarat Avengers politik, lengkap dengan kekuatan jaringan konstituen dan modal finansial yang tak terkalahkan. Petahana seolah punya _infinity stone_-nya sendiri yang membuat mereka tak tergoyahkan, meski plot ceritanya sudah basi. Dan kita, sebagai penonton setia, sepertinya tak punya pilihan lain selain menonton _season_ berikutnya.Lebih parah lagi, hampir semua partai besar, kecuali PDIP, sekarang berkoalisi mendukung pemerintahan Prabowo. Jadi, apa yang kita harapkan dari DPR? Apakah mereka masih bisa menjalankan fungsi pengawasan? Jangan-jangan parlemen sekarang hanya jadi _"yes-man"_ eksekutif, tempat stempel kebijakan dilempar ke udara sambil berteriak, "Uhuy!"
Pada akhirnya, 1 Oktober 2024 bukan cuma jadi hari pelantikan anggota parlemen baru, tapi juga jadi hari refleksi untuk kita semua. Di satu sisi, kita bisa bangga bahwa demokrasi kita masih berjalan—bahwa rakyat punya suara, meski kali ini suaranya lebih banyak diberikan pada pelawak.
Namun di sisi lain, kita harus bertanya-tanya: apakah wajah-wajah baru di Senayan benar-benar membawa harapan baru? Atau kita hanya akan terus menonton episode _sitcom_ politik yang sama, dengan bintang tamu yang berbeda?
Ketika teriakan "Uhuyy" semakin keras menggema di gedung parlemen, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: seberapa sakti sebenarnya Pancasila kita, kalau politik kita lebih mirip komedi tanpa akhir?
Editor : Rahmat