Harus pak Ketum karena yang terjadi dilapangan hari itu adalah ketidakberadaban di bidang olah raga. Tapi entah siapa yang tidak beradab pada saat itu. Hanya pak Ketum yang bisa mengusut tuntas. Kami penggemar menunggu hasil pengusutan pak Ketum. Kami ingin sepakbola yang indah dan menarik.
Diatas adalah secuil cerita peradaban di lapangan bola. Namun bila kita simak topik-topik perbincangan media sejak akhir tahun lalu, sepertinya praktek “main sore” tidak monopoli dunia sepakbola saja.
Main sore bisa saja terjadi dalam proses suksesi pimpinan korporasi, pejabat pemerintahan dan pejabat politik misalnya. Andaikata apa yang dinarasikan oleh film Dirty Vote ada benarnya, maka betapa malunya kita.
Main sore yang tenggarai Dirty Vote kayaknya lebih brutal dari apa yang terjadi di lapangan bola sehingga komite pertandingan harus mempertukarkan wasit dengan hakim garis. Katanya sang wasit terang benderang membiarkan mengesahkan gol yang dicetak ponakannya yang jelas-jelas berada dalam posisi off side.
Orang berijazah menyebut sang ketua telah melanggar kode etik profesi. Artinya dia telah melanggar prinsip-prinsip independensi, imparsialitas, integritas, kepantasan, kesetaraan, kecakapan dan kearifan. Ketujuh prinsip dasar etika diatas berhulu dari telaga bening yang kita sebut dengan moral.Itu artinya ketua wasit yang kena usir dari tahktanya itu telah mengalami kerusakan moral yang sudah tidak dapat lagi ditolerir. Mungkinkah telaga moralnya sudah dipenuhi sampah dan bangkai sehingga arus etikanya keruh dan busuk. Benarkan ini lebih brutal dibanding main sore dilapangan bola? Entahlah, kita tunggu saja dampaknya setelah semuanya terjadi.
Wassalam - PDG30092024
Editor : Rahmat