Mampuslah DPR, jika IKN mangkrak. Merekalah yang disalahkan jika proyek ini gagal. Kalau gagal, “bukan salah saya, kan DPR yang setuju,” kira-kira begitu logika yang ingin disampaikan pak Jokowi, eh Mulyono.
Inilah contoh nyata yang disebut premanisme politik. Bukan preman pasar, bukan juga geng motor, tapi preman berkotak-kotak jas di gedung megah. Jika preman di lapangan terminal mengintimidasi pedagang kecil untuk bayar "jasa keamanan", preman di gedung-gedung mewah menekan parlemen dengan kesepakatan rahasia, memaksakan proyek-proyek fantastis yang tak realistis. IKN hanyalah contoh besar dari cara kerja “premanisme legal”.
Masalahnya, ketika nanti proyek ini benar-benar mangkrak, DPR-lah yang akan jadi kambing hitam. Preman politik sudah tahu cara mengelak.
Jokowi mengemasnya dengan apik: "IKN bukan proyek presiden." Seolah-olah dengan kalimat ini, semua beban tanggung jawab bisa dilempar ke pihak lain.
Melihat semua ini, kita jadi berpikir: apakah kita membutuhkan model ala Bukele di Indonesia? Presiden Nayib Bukele dari El Salvador berhasil dengan pendekatan "iron fist", menekan preman-preman geng kriminal hingga ke akar-akarnya.
Tapi, preman politik di Indonesia jauh lebih lihai. Mereka tidak menguasai jalanan, mereka menguasai parlemen, birokrasi, bahkan media.Bukele berhasil karena ia bertindak tegas tanpa kompromi, memutus rantai kekerasan dan intimidasi geng yang menguasai El Salvador. Di sini, tantangannya berbeda. Preman kita tidak hanya beroperasi di pasar gelap, tapi juga di pasar kekuasaan. Mereka punya hubungan langsung dengan elite-elite politik.
Jadi, bisakah _Bukele Model_ diterapkan? Mungkin bisa, tapi butuh sosok presiden yang berani menendang meja perundingan, bukan hanya memindahkan tanggung jawab seperti memainkan catur politik.
Melihat kenyataan bahwa proyek besar seperti IKN mulai terlihat seperti "mangkrak", kita sebaiknya berpikir ulang tentang model-model pembangunan besar-besaran yang hanya didasarkan pada ambisi satu orang. Tidak ada gunanya proyek mewah jika hanya akan berakhir sebagai monumen kegagalan.
Dan lebih buruk lagi, tidak ada gunanya memaksa rakyat menerima proyek-proyek ini, sementara masalah nyata seperti kemiskinan, ketimpangan, dan korupsi tetap merajalela.
Editor : Rahmat