Demokrasi Kulit Luar

×

Demokrasi Kulit Luar

Bagikan berita
Demokrasi Kulit Luar
Demokrasi Kulit Luar

Berdasarkan survei, mayoritas rakyat Indonesia tampak puas dengan kinerja demokrasi di era pemerintahan saat ini. Namun, apa yang terjadi ketika rakyat merasa senang, tetapi kenyataannya demokrasi yang mereka nikmati bak sebuah panggung teater, di mana aktor-aktor politik menari dengan lihai sambil menyembunyikan kenyataan bahwa panggung itu sendiri perlahan runtuh?

Hal ini diungkap oleh Prof. Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Dengan gaya tajam dan tegas, dia menolak survei kepuasan demokrasi yang belakangan banyak digelar sebagai alat untuk menilai kualitas demokrasi di Indonesia.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Indikator Politik mencatat mayoritas masyarakat merasa puas dengan demokrasi saat ini. LSI melaporkan sekitar 71,8 persen masyarakat puas dengan kinerja demokrasi, sedangkan Indikator Politik mengungkap bahwa mayoritas menilai penegakan hukum berjalan dengan baik.

Fakta-fakta ini seolah-olah menggambarkan Indonesia berada di jalan yang benar dalam mewujudkan cita-cita demokrasi. Tapi, apakah benar demikian?

Menurut Mahfud MD, angka-angka ini hanya mencerminkan kepuasan terhadap demokrasi prosedural – demokrasi yang terlihat dari pemilu, kampanye, dan debat politik. Rakyat, katanya, tidak memahami bahwa demokrasi bukan sekadar suara yang dicoblos di bilik suara, melainkan bagaimana pemerintahan dijalankan secara transparan, bertanggung jawab, dan untuk kepentingan bersama.

“Rakyat tidak mengerti substansi demokrasi,” ujarnya. Dengan kata lain, mereka puas pada permukaannya, tetapi tidak tahu bahwa di bawah permukaan, demokrasi di Indonesia sedang mengalami keruntuhan.

Para pemikir seperti Guillermo O'Donnell dalam _Transitions from Authoritarian Rule_ pernah menyatakan, negara-negara berkembang cenderung terjebak dalam demokrasi prosedural. Demokrasi ini memberikan ilusi bahwa rakyat memegang kekuasaan melalui pemilu yang bebas dan adil, tetapi di balik tirai, institusi-institusi negara seperti parlemen dan pengadilan justru dikendalikan oleh elit-elit politik yang korup.

Hal inilah yang menjadi persoalan di Indonesia. Pemilu diadakan secara rutin, dan pemimpin baru silih berganti, namun substansi demokrasi – seperti penegakan hukum yang adil, transparansi pemerintah, dan pemberdayaan rakyat – tampaknya tidak diindahkan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Mahfud MD menyoroti bahwa mereka yang seharusnya memperbaiki demokrasi adalah pihak yang justru merusaknya. DPR, menurut Mahfud, adalah aktor utama yang berkontribusi terhadap rusaknya demokrasi. Ibarat tukang kebun yang mencabut akar tanaman sehat dan menanam gulma, mereka tidak akan mau mengubah perilaku mereka karena "mereka yang merusak, mana bisa memperbaiki?"

Dalam konteks demokrasi Indonesia, kita melihat pola aneh. Mahfud MD mencatat bahwa perbaikan demokrasi hanya terjadi setelah "momentum besar," seperti jatuhnya Orde Baru, yang menciptakan angin segar reformasi.

Editor : Rahmat
Bagikan

Berita Terkait
Terkini