Namun, angin itu perlahan berubah menjadi stagnasi. Enam tahun pertama setelah reformasi, banyak produk hukum yang progresif dihasilkan. Namun, setelah itu, kemajuan seolah-olah berhenti, bahkan berbalik arah. Seakan-akan, Indonesia terjebak dalam siklus kemunduran, di mana demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan sekadar alat bagi elite untuk terus berkuasa.
Hal ini bertentangan dengan apa yang terjadi di negara-negara lain. Samuel P. Huntington dalam bukunya _The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century_ mengamati bahwa banyak negara berkembang mengalami lonjakan dalam kualitas demokrasi setelah reformasi besar. Sayangnya, di Indonesia, lonjakan itu hanya sesaat, dan setelahnya, kita jatuh kembali ke dalam siklus demokrasi setengah hati yang lebih melayani elite daripada rakyat.
Di tengah janji-janji manis tentang perbaikan demokrasi, kenyataannya, yang dirasakan rakyat adalah narasi demokrasi yang berisi "kata-kata tanpa substansi." Panggung politik di Indonesia saat ini, dengan segala survei kepuasan dan dukungan, lebih menyerupai pertunjukan sandiwara ketimbang demokrasi yang sesungguhnya. Janji-janji para pemimpin yang berkoar-koar tentang demokrasi sering kali runtuh sebelum panggung pertunjukan selesai.
Demokrasi yang sehat bukan tentang survei kepuasan, tetapi tentang bagaimana rakyat berdaya dan memiliki kontrol nyata atas pemerintahan mereka. Mahfud MD benar ketika mengatakan bahwa rakyat perlu dididik tentang substansi demokrasi.
Namun, pendidikan ini tidak hanya untuk rakyat. Seperti yang dikemukakan oleh Schmitter dan Karl dalam _What Democracy Is… and Is Not,_ demokrasi juga memerlukan elite yang memahami dan menghormati institusi-institusi demokrasi, bukan yang memanfaatkannya untuk memperkuat posisi pribadi.Walhasil, kita melihat kontras antara angka-angka survei yang menunjukkan kepuasan masyarakat dan realitas runtuhnya demokrasi di Indonesia. Rakyat puas, tetapi demokrasi yang mereka nikmati hanyalah kulit luar. Tanpa perbaikan substantif, tanpa komitmen dari elite, dan tanpa pendidikan yang memadai, demokrasi di Indonesia mungkin akan terus menjadi panggung sandiwara yang perlahan runtuh di balik layar.
Dan di sinilah peran kita, baik rakyat maupun elite, untuk tidak hanya menonton dari kursi penonton, tetapi turun tangan dan memastikan bahwa demokrasi kita bersifat substantif, tetap hidup dan sehat. Bukan hanya demokrasi prosedural.
(Catatan Cak AT/ Ahmadie Thaha [11.10.2024])
Editor : Rahmat