Hasilnya? "Pak Jokowi luar biasa! Terima kasih kaosnya, Pak! Juga bingkisannya!" Bagaimana mungkin rakyat yang baru saja menerima bingkisan bansos dan kaos bergambar wajah presiden berkata buruk tentang sosok yang baru saja memberinya 'bantuan nasional' yang diambil dari pajak rakyat itu?
Budi Arie Setiadi, Menteri Komunikasi dan Informatika, dengan senyum tipisnya mungkin mengira kita semua bodoh. Tapi, dia tidak menampik bahwa Jokowi sangat memperhatikan laporan rutin terkait sentimen masyarakat.
Apa yang lebih ironis dari pemimpin yang tahu bahwa popularitasnya di kalangan elit sudah merosot, lalu berusaha mati-matian menjaga dukungan rakyat bawah dengan cara yang —terus terang saja— sama sekali tidak elegan? Seperti Robin Hood milenial, Jokowi tidak merampok dari si kaya untuk memberi si miskin, tapi dia menciptakan kesan bahwa membagikan bingkisan bisa menutupi semua permasalahan demokrasi.
Dan di sinilah letak absurditasnya. Kita hidup dalam demokrasi yang katanya merdeka, di mana survei menjadi penentu ‘keberhasilan’, padahal kenyataannya, oligarki makin menggenggam erat tampuk kekuasaan. Sementara rakyat disuguhi tontonan prosedural demokrasi, para elit sibuk memperkaya diri di balik layar. Rakyat tetap miskin, namun puas, karena siapa yang butuh keadilan sosial jika Anda bisa mendapat bingkisan gratis dari presiden?
Survei yang menunjukkan angka kepuasan itu memang seperti layar tancap: hiburan sementara di malam yang gelap, tapi pagi hari, saat cahaya matahari muncul, layar itu pun segera digulung, memperlihatkan realitas yang suram.Tengok saja, ketidaksetaraan masih menganga, jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar, dan demokrasi yang sebenarnya terus menjauh. Tapi tak usah khawatir, minggu-minggu depan sampai jelang Pilkada mungkin ada survei baru yang menyebutkan bahwa 80 persen rakyat Indonesia siap dengan paslon yang didukungnya.
(Catatan Cak AT - Ahmadie Thaha [13.10.2024])
Editor : Rahmat