Aku tertawa dan menyodorkan sebungkus tissue kepadanya. Namun aku sedetik terlambat, karena ia menyeka mulutnya dengan lengan jaket jeansnya. Aku tak kuasa untuk tidak tersenyum melihatnya.
Pertemuan kami yang pertama berlanjut dengan pertemuan kedua di John Harvad Bar beberapa hari kemudian. Paulo mengundangku untuk bicara santai dan minum bir. Walaupun aku tidak minum bir, aku tetap datang memenuhi undangannya. Kupikir tak salahnya memenuhi undangan orang sebaik dia. Dan mengenal bir, selalu ada limun jahe sebagai penggantinya.
Aku lebih mengenal Paulo lebih jauh pada pertemuan kami yang kedua. Dia adalah mahasiswa tingkat Doktor jurusan teknologi informasi di Massachusetts Institute of Technology. Kecintaannya pada bidang in telah ia mulai sejak ia remaja. Dia bilang ilmu yang ia tekuni saat ini bisa membawa ia kemana saja, tanpa ia benar-benar pergi ke tempat itu.
Terlepas dari kecerdasan dan ketampanannya, adalah Sikap dan tutur katanya yang tidak mencerminkan kesombongan intelektual, ras, atau status sosial yang membuat aku benar-benar simpati padanya. Dia bisa berbicara akrab dengan laki-laki berkulit hitam yang berpakaian kumuh yang meminta uang receh kepada kami di depan bar tempat kami minum. Dia bertukar ilmu bermain gitar dengan pengamen yang sedang nongkrong di stasiun subway. Dia yang pertama kali menegur aku dengan perbincangan ringan, sesuatu yang sangat menyentuh bagi aku yang merasa mulai merasa seperti orang Indonesia yang kesepian di tengah kesombong intelektual komunitas Harvard University.
Bersambung .....atau sudah?
Sejak pertemuan kami yang kedua, Paulo resmi menjadi teman diskusi dan teman melepas kejenuhan hari. Kami sering berdiskusi, atau tepatnya, aku mengguruinya dan dia menanggapinya dengan pendapat-pendapatnya yang cerdas, mengenai politik dan ekonomi. Terkadang kami berdua 'lari' dari kesibukan kampus untuk menikmati keindahan pegunungan di Vermont atau moleknya pantai di Providence Town. Adakalanya pula ia datang ke apartemenku untuk membantu aku dengan masalah ‘keterbelakanganku' dengan teknologi komputer dengan upah makan siang masakan asli Indonesia lengkap dengan pisang goreng. Sayangnya, dia tidak pandai memasak masakan Itali, sehingga aku tak bisa meminta upah yang sama jika aku membagi ilmuku kepadanya.Lucunya, sejak kedekatan kami, aku jadi mulai mencoba memahami lebih jauh mengenai dunia teknologi, walaupun aku pikir otakku memang didesain bukan untuk memahami hal-hal seperti itu. Paulo pun demikian, ia jadi akrab dengan buku-buku filsafat, politik dan ekonomi. Yang paling mengherankan bagiku adalah ketika ia menjadi penggemar buku karangan John Rawls, filsuf gaek yang memang menjadi sering kali dijadikan idola oleh filsuf-filsuf muda seakan-seakan karyanya sudah seperti kitab suci.
Pernah suatu ketika, Paulo mengejutkan aku dengan pendapatnya, yang dia dapat setelah membaca buku Law of Peoples-nya, John Rawls. Dia bilang seharusnya, pemerintah Amerika Serikat tak perlu menyudutkan pemerintah negara-negara Islam hanya dengan dasar bahwa mereka tidak demokratis. Dia bilang, demokratisnya suatu negara tidak hanya bisa dilihat dari adanya keterlibatan rakyat dalam penentuan pemimpin negara dan pemerintahan, tapi lebih kepada keterlibatan mereka dalam penentuan arah negara dan pembentukan masyarakat. Katanya, selama tatanan masyarakat terbentuk dengan baik, hukum dapat ditegakkan dan disertakan dalam pelaksanaannya, tak perlu kita mesti kukuh dengan istilah sempit demokrasi.
"Apa gunanya punya pemimpin yang dipilih cara yang katanya demokratis, tapi dalam pengambilan keputusan dia bertindak berdasarkan kepentingan mereka yang mendanai kampanye atau kaum elit politik yang telah mendukungnya. Bukankah itu sama saja bohong. Terlebih lagi kalau militer dijadikan alat untuk memperkuat kedudukan mereka. Ini sama saja negara demokratis, tapi tidak decent!. Negara malah bisa menjadi ancaman bagi rakyatnya sendiri," kata Paulo lebih lanjut lagi
"You're right, Paulo," kataku yang kala itu memang sedang malas bicara politik.
Editor : Rahmat