Begitulah, hari berganti hari, bulan purnama datang pergi, dan musim pun berputar, persahabatan kami semakin kental sampai juga akhirnya Paulo menyatakan cintanya padaku setelah hampir setahun pertemuan kami yang pertama. Aku menjawabnya dengan menjatuhkan kepalaku di dadanya yang bidang dan membiarkan tubuku dipagut tangannya yang kekar.
Dua tahun kami berhubungan sebagai layaknya
manusia yang kasmaran. Paulo bahkan memperkenalkan aku kepada keluarganya, yang menerima aku dengan ramah, walaupun kutau ada sedikit kekecewaan terpancar dari mata mereka.
Meskipun demikian, Paulo dan aku tak pedull, karena pada saat itu memang tampaknya dunia cuma milik kami berdua. Sampai akhirnya, aku mengakhiri semuanya, karena aku pun tak yakin bahwa keluargaku, kerabatku, dan masyarakat tempat aku berasal sanggup menerima kehadiran Paulo sebagai teman hidupku.
Beberapa tahun berlalu sejak kepulanganku ke tanah air, aku tak pernah mendengar kabar lagi tentang Paulo. Sampai akhirnya, setahun yang lalu, aku mendengar seorang chief engineer pembangunan instalasi pusat komunikasi tentara AS di Iraq bernama Paulo Bertolucci tewas terbunuh oleh aksi bom bunuh diri.
***Diatas bangku didepan sungai Charles, aku kembali menitikan air mata. Aku menangis, bukan karena keputusanku meninggalkannya, bukan pula karena kematian yang telah menjemputnya. Aku tak mau menangisi hal yang memang sudah menjadi takdir Yang Kuasa. Aku menangis, karena diantara gelar pendidikan dan jabatan bergengsi yang aku miliki ternyata banyak hal tentang hidup yang tidak pernah bisa aku pahami.
Entah berapa lama aku menangis dalam diam, menatap kosong ke arah aliran sungai. Sampai akhirnya, kudengar suara renyah seorang perempuan meneriakkan namaku dari kejauhan.
"Mas Bogi! Mas Bogu!"
Dan kulihat, Tutik, istriku tercinta, melambaikan tangannya dari atas jembatan John Weeks sambil menggendong Dana, putraku satu-satunya.
Editor : Rahmat