Bayangkan sebuah negeri di mana beramal adalah aktivitas sehari-hari yang hampir setara dengan menyeruput kopi pagi. Ya, selamat datang di Indonesia! Negeri ini, menurut World Giving Index (WGI) 2024, dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut.
Dengan skor 74, sembilan dari sepuluh warganya rutin menyisihkan uang untuk amal, dan enam dari sepuluh rela mengorbankan waktu mereka demi membantu orang lain.
Dengan skor 74, Indonesia berada di puncak, diikuti Kenya (63), dan Singapura (61). Negara 10 besar lainnya: Gambia, Nigeria, Amerika Serikat, Ukraina, Australia, Uni Emirat Arab (UAE), dan Malta.
Sebaliknya, Polandia menempati posisi terakhir, selain Jepang dan Kamboja. Peningkatan terbesar dicatat oleh Maroko, di mana donasi naik 800% akibat gempa bumi pada 2023.
Sementara itu, Azerbaijan mengalami penurunan terburuk, jatuh 65 peringkat ke posisi 119.
Secara keseluruhan, skor rata-rata dunia 40, menunjukkan semangat memberi tetap hidup di berbagai negara.
World Giving Index (WGI) disusun oleh Charities Aid Foundation (CAF) melalui survei global yang menanyakan tiga tindakan utama: menyumbang uang, menjadi sukarelawan, dan membantu orang lain dalam sebulan terakhir.Data dikumpulkan dari 145.000 responden di 142 negara melalui wawancara langsung atau telepon, dan skor 0-100 dihitung dengan mengambil rata-rata persentase jawaban positif.
Dan, itulah fakta wajah kita, bangsa dermawan terbesar di dunia. Tapi, tunggu dulu. Apakah gelar ini benar-benar menggambarkan cinta kasih, ataukah sekadar cerminan bagaimana kita berkompetisi soal “siapa yang lebih dermawan?” Di era modern ini, aplikasi seperti Gopay, OVO, ShopeePay, seluruh bank, menyediakan dompet digital bersedekah dengan satu klik. Jangan lupa, Baznas atau Dompet Dhuafa telah memelopori gerakan zakat dan infak, mengisi ruang layar ponsel kita.
Pertanyaan abadi, apakah kedermawanan ini sifat bawaan atau hasil pembentukan lingkungan? Dalam budaya yang sarat dengan nilai gotong-royong, wajar jika membantu sesama dianggap sebagai bagian dari identitas kolektif bangsa Indonesia. Namun, beberapa skeptis mungkin mengatakan, ini lebih tentang "pencitraan sosial" di masyarakat di mana pujian dari tetangga lebih penting dari keikhlasan.
Editor : Rahmat