Kita Bangsa Dermawan

×

Kita Bangsa Dermawan

Bagikan berita
Kita Bangsa Dermawan
Kita Bangsa Dermawan

Selain itu, pendidikan agama di Indonesia memainkan peran besar. Dari usia dini, anak-anak diajarkan tentang zakat, infak, sedekah, dan bagaimana “harta di dunia hanyalah titipan.” Dengan begitu banyak pengingat bahwa berbuat baik akan membuka jalan ke surga, siapa yang bisa menolak dorongan untuk bersedekah?

Namun, lingkungan juga memainkan peran besar. Bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan gunung meletus secara tragis telah menjadi “guru” empati bagi kita. Seringkali, momen-momen inilah yang memicu ledakan kedermawanan. Ambil contoh, lonjakan sumbangan di Maroko setelah gempa pada 2023, yang meningkat 800%. Begitu pula di Indonesia, di mana budaya spontanitas memberi bantuan telah menjadi ritual nasional.

Di zaman serba digital, bahkan kedermawanan pun ikut terotomatisasi. Lewat aplikasi keuangan, beramal kini semudah memesan pizza. Tapi di balik kemudahan ini, muncul harapan semoga ini benar-benar dorongan hati, bukan sekadar efek dari notifikasi.

Kita sadar, dalam sistem di mana berderma hanya satu klik, perlu terus diingatkan bahwa Tuhan menghitung amal bukan berdasar banyaknya uang derma, tapi nilai ketakwaan dan keikhlasan.

Kita mungkin bangga, di satu sisi, skor tinggi Indonesia di indeks kedermawanan menunjukkan bagaimana semangat gotong-royong masih hidup di tengah tekanan modernitas. Di sisi lain, kita juga mugkin sedih, fakta ini juga menjadi cermin yang menggambarkan ketimpangan sosial yang masih merajalela.

Bayangkan, di negara yang dikenal sebagai “paling dermawan,” masih ada puluhan juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Apakah gelar ini menunjukkan keberhasilan kolektif, atau justru menyoroti kegagalan sistemik? Jika kita begitu dermawan, mengapa ketimpangan masih menjadi momok?

Kedermawanan seharusnya tidak hanya menjadi aktivitas individu, tetapi juga strategi kolektif. Selain membantu sesama, kita perlu mendorong kebijakan yang lebih inklusif dari negara, memastikan bahwa kesejahteraan bukan sekadar soal derma, tetapi hak asasi. Hingga saat itu tiba, mungkin kita harus terus berderma — tentu karena hati yang tulus, bukan hanya karena notifikasi yang mengingatkan.

Jadi, selamat kepada Indonesia atas gelarnya. Semoga kita terus menjadi dermawan, bukan hanya karena kita mampu, tetapi karena kita ikhlas untuk peduli memberi dan membantu sesama, dengan atau tanpa notifikasi.

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha

Editor : Rahmat
Bagikan

Berita Terkait
Terkini