“Maaf, bapak memanggil saya?” Tanya saya sambil mencoba mengingat wajah lelaki itu.
“Wah! Pak Deputi lupa ya sama saya? Saya Hendra, Pak! Hendra Sugiharta! Masak Bapak lupa!” Kata lelaki itu sambil berjalan menghampiri saya.
Saya tertegun sesaat. Saya memang kenal dengan pria bernama Hendra Sugiharta. Tapi dia bukan lelaki muda yang ada di seberang jalan itu. Hendra yang saya kenal adalah seorang yang berusia jauh saya, mungkin sekarang sudah 53 tahun. Dia adalah seprang eksekutif terkenal. Dari usia 30 tahun dia sudah berulang kali menjadi direktur perusahaan besar, mulai dari swasta nasional, multinasional dan 10 tahun menjadi Direktur Utama sebuah BUMN. Kira-kira 1.5 tahun yang lalu ia berhenti dari jabatannya di sebuah BUMN besar dan sejak itu saya tidak pernah melihatnya lagi.
Pak Hendra yang saya kenal berbadan agak lebar dan perut agak maju, berambut tipis dan kanan kirinya berwarna putih. Wajahnya agak gelap sedikit berkerut dan sinar matanya tajam sedikit angker, menunjukkan sosok pekerja keras dan pengambil keputusan.
Sementara yang saya lihat di depan saya lebih pantas disebut adik saya dengan badan atletis dan senyum tulus seperti kekanak kanakan.
“Pak Deputi, kok malah bengong? Ayo pak, mampir!” Kata lelaki itu lagi.
“Ok pak! Tapi jangan panggil saya deputi lagi. Itu kan masa lalu.” Jawab saya sambil menghampiri rumah dan memasang masker yang tadi saya buka karena ingin menghirup udara segara di bawah pepohonan.“Kita duduk di teras saja ya Pak. In shaa Allah aman dari covid. Yang penting kita jaga jarak!” Kata Pak Hendra sambil tersenyum.
Aku duduk di kursi kayu jati di teras rumah Pak Hendra. Sambil duduk mataku terus menatapmya yang kini berjarak sekitar 2.5 meter dari tempat dudukku. “Masya Allah. Benar-benar perubahan luar biasa di penampilan Pak Hendra,” batinku berbisik.
“Pak Deputi melihat saya seperti melihat hantu saja. Ini benar saya Pak! Hendra Sugiharta!” Katanya dengan senyum lebar.
Editor : Bambang Sulistyo