Malah, ketika artikel ini ditulis, anjlok menjadi 12 derajat dengan "feels like 8 derajat". Kembalilah kami mengenakan jaket tebal. Beruntung, saya menyimpan beberapa jacket dan coat di rumah Nona. Ada juga yang terpaksa beli baru ketika sedang berjalan-jalan tetiba cuaca anjlok menjadi sangat dingin.
Menantu, Jack Omar, menjelaskan Melbourne lazim menghadapi cuaca anomali seperti itu karena Ibu Kota negara bagian Victoria Australia itu berada di tengah perbenturan antara embusan angin dari gurun dengan embusan angin dari khatulistiwa. Jack menyebut istilah " angin sedang berpesta berebut pengaruh".
Tidak hanya di musim Panas. Maka itu, sambil tertawa, Jack bilang Melbourne memang terkenal dengan julukannya : kota empat musim dalam satu hari.
Saya juga tertawa geli mengingat satu koper penuh yang saya bawa, isinya pakaian untuk musim panas. Hampir tak tersentuh dalam cuaca anomali ini. Kecuali pakaian dalam dan sapu tangan.
Empat musim yang disebut Jack yang terbagi dalam setahun : summer (musim panas) autum (musim gugur), spring (musim semi) dan winter (musim dingin). Bayangkan itu bisa bergonta-ganti dalam satu hari. Hujan tiba-tiba mendadak turun dengan sangat deras bahkan dalam hitungan menit di tengah cuaca matahari yang sangat terik."Inilah Melbourne", begitu ungkapan supir taksi Uber. Padahal, saya hapal ungkapan itu sejak lama. Mengapa saya terlupa "doktrin" itu dalam kunjungan ke Melbourne kali ini. Maka kebiasaan jogging saya pun berubah. Biasanya pagi hari menjadi petang sekitar jam 7 malam, mengelilingi track jogging Allard Park di seberang rumah. Jam segitu pun matahari memancarkan terik. Maghrib di sini pukul 20.30 malam. Selesai jogging satu jam, punya waktu istirahat setengah untuk mandi dan langsung Maghriban. (*)
Editor : Bambang Sulistyo