Mungkin masih banyak masyarakat Sumatera Barat yang beranggapan bahwa daerah ini miskin sumber daya alam, dibandingkan dengan provinsi-provinsi seperti Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Maluku Utara atau Papua, dengan minyak bumi, batubara, nikel dan tembaga. Sepintas lalu melihat kontribusi minim mineral untuk PAD Sumbar, anggapan demikian memperoleh justifikasi. Tapi lain cerita jika baca sejarah, justru mineral Sumbar dahulu kaya. Dulu, ketika batubara Ombilin masih melimpah dan puluhan tambang emas-perak Eropa tersebar sampai ke tengah rimba.
Optimisme orang-orang Belanda akan kekayaan Sumatera Barat mencakup juga kesediaan menanggung biaya besar melakukan survey kemungkinan potensi mineral organik berharga di sini: minyak bumi (aardolie). Salah satu kasus demikian adalah pencarian minyak bumi di Kolok, Sawahlunto.
Semuanya berawal dari tulisan yang dirujuk oleh RDM Verbeek dalam menulis topografi wilayah Sumbar. Artikel tersebut ditulis oleh pakar geologi Belanda Carel Jan van Schelle (1849-1907) berjudul Mededeeling over het voorkomen van Aardolie bij het dorp Kolloq, Padangsche Bovenlanden (Catatan Keberadaan Minyak Bumi di Kampung Kolok, Padang Darat). Tulisan ini dimuat dalam jurnal geologi dan ilmu tambang Hindia Belanda: Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost-Indië edisi 1876 Bagian I mulai halaman 188. Sayang sekali artikel ini belum kami dapatkan secara utuh. Catatan ini cukup menarik sebab dalam edaran yang disebar ke para kepala pribumi oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1860-an agar mereka memberi informasi minyak bumi di daerah masing-masing, Sumatera Barat tidak termasuk yang melaporkan.
Entah bagaimana ceritanya, potensi minyak bumi di Kolok ini baru disurvey serius 22 tahun kemudian, dan sama sekali tidak merujuk karangan van Schelle tersebut. Harian Sumatra-Courant Sabtu 24 Desember 1898 menyampaikan kabar bahwa Sawahlunto akan segera menjadi sentra tidak hanya tambang batubara, tapi juga emas dan minyak bumi. Mengenai potensi minyak bumi, harian ini memberitakan beberapa bulan sebelumnya insinyur pengeboran (boormeester) Hoijer mengunjungi kawasan eksploitasi di Kolok.
Hasil survey awal oleh Hoijer ini hasilnya sangat menjanjikan. Pada pengeboran sumber pertama dihasilkan 6.000 liter minyak, dan pada sumber minyak kedua 3.000 liter yang dapat ditingkatkan jadi 6.000 liter. Total 9.000 liter yang dihasilkan pada pengeboran awal ini mengandung 77 persen lichtolie, istilah yang biasa digunakan untuk minyak yang dimanfaatkan untuk penerangan. Saat itu minyak bumi sebagai bahan bakar belum sepopuler batubara.
Setelah hasil ini, Hoijer dipanggil ke Batavia untuk memberi laporan kepada para pemegang saham Mijnbouw Maatschappij Belang, yang masih terkait dengan perusahaan minyak Petroleum-maatschappij “Moeara Enim” (berdiri 1897). Rapat ini memutuskan untuk membentuk satu perusahaan terpisah khusus untuk eksploitasi Kolok dan akan menganggarkan 300.000 gulden (Rp. 75 milyar sekarang). Namun, keputusan alokasi anggaran yang benar-benar final belum bisa diberikan karena pemegang saham utama sekaligus pendiri dan direktur perusahaan, JW Ijzerman, masih berada di Eropa. Jika di Sumbar Ijzerman ini lebih masyhur sebagai pakar konstruksi rel kereta api (patungnya dipajang di museum Sawahlunto), di luar tokoh ini terkenal sebagai pengusaha dan insinyur minyak bumi.
Sebagai upaya awal, kilang minyak (raffinaderij) sederhana didirikan di Kolok dengan kapasitas 50 peti petroleum per hari. Sejumlah tank atau reservoir juga dibeli. Konstruksi ini telah makan biaya 20.000 gulden (5 milyar rupiah), sementara operasional eksploitasi dianggarkan 3.000 gulden (750 juta rupiah) per bulan. Diharapkan, produksi awal akan memberi untung 1.500 gulden per bulan. Disebabkan kerasnya batuan bawah permukaan yang akan dibor, Hoijer menyarankan instalasi bor sebagian memakai tenaga uap sehingga rapat juga memutuskan membeli perangkat mesin uap yang dibutuhkan.Setahun kemudian, surat kabat het Vaderland Sabtu 7 Juli 1899 mengabarkan bahwa dalam rapat umum para pemegang saham Mijnbouw Maatschappij Belang direksi diberikan kewenangan menanam investasi awal 30.000 gulden untuk upaya eksplorasi minyak bumi di Kolok. Dari angka ini jelas potensi minyak Kolok ditarget untuk eksplorasi skala besar.
Dua tahun kemudian, harian Sumatra-Courant Sabtu 3 Februari 1901 memberitakan keberangkatan insinyur senior TFH Delprat dan JW Ijzerman ke Sawahlunto. Sementara Delprat melakukan inspeksi tambang batu bara, Ijzerman –kemungkinan besar dalam kapasitas sebagai pemegang saham utama ”Moeara Enim”--pergi ke Kolok untuk melakukan survey sumber minyak bumi di sana.
Haagsche Courant tanggal 12 Mei 1902 membawa kabar kurang sedap. Direksi Petroleum-maatschappij “Moeara Enim” menginstruksikan agar kegiatan pengeboran di Kolok dihentikan. Meski Hoijer sudah berusaha keras mengebor lebih lanjut sumber minyak, hasilnya tidak menggembirakan, meski ada beberapa sumber yang ditemukan.
Editor : Rahmat