Nagari Koto Gadang di masa Kolonial Belanda berada di bawah Onderdistrict IV Koto, afdeeling Agam. Di negeri inilah kampung halaman dari orang-orang besar di pentas pegerakan nasional, semisal Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, A. Karim, Djamaluddin Tamim, Jahja Datuk Kajo, Roehanna Koeddoes, dan lainnya.
Kisah waterleiding bermula dari tingginya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh air bersih di Nagari Koto Gadang. Berbagai upaya telah mereka tempuh sebelum tahun 1918, untuk mengalirkan sumber air yang berada di kaki Gunung Singgalang.
Melalui ide yang digulirkan seorang demang Pajacombo asal Koto Gadang bernama Jahja Datuk Kayo, dimulailah pekerjaan besar tersebut. Pekerjaan waterleiding itu dimulai pada 9 Juli 1918. Sasaran sumber airnya adalah Bulakan Batupai 1.054 dpl– yang terletak di kaki Gunung Singgalang. Jarak sumber air ini dari Koto Gadang adalah 4,5 kilometer.
Sejak dilaksanakan pada pertengahan tahun 1918, semua warga Koto Gadang maupun yang di rantau, beriuran untuk membiayai pembangunannya. “Anak negeri semuanya mau dan suka mengeluarkan uang” – demikian Berita Kota Gedang memberitakannya. Sampai tahun 1919, keseluruhan uang yang terkumpul baik dari negeri maupun rantau adalah f 3000 (baca: tiga ribu gulden).
Empat tahun pelaksanaan waterleiding belum menampakkan hasil. Bahkan uang yang telah dihabiskan beribu-ribu gulden itu, belum menampakkan hasil. Seijers – Asisten Residen Agam pada 1922 pun menegaskan, bahwa masyarakat tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk mengalirkan air dari Bulakan Batupai ke Koto Gadang.Apa sebabnya?
Fort de Kock Butuh WaterleidingRupanya W.J Cator – asisten residen Fort de Kock (kini: Bukittinggi) memang membutuhkan pasokan air bersih tambahan. Pasalnya, kebutuhan air bersih untuk kota rang Agam yang berasal dari Sungai Tanang tidak lagi mencukupi.
Kalau Cator menginginkan pasokan air dari Bulakan Batupai, tentu pipanya akan melewati dua nagari, yakni Nagari Koto Tuo dan Koto Gadang. “Kalau KG meminta sebagian pada air ini kepada Gemeente tentu sudah tentu diberinya, jadi beruntunglah Kota Gedang” – demikian Ketua Comitte Waterleiding dalam sambutannya pada 30 Januari 1933.
Gayung bersambut. Cator kemudian mengutus empat orang Belanda, masing-masing dua orang ahli air, seorang insinyur, dan seorang arsitek. Gambar dari arsitek itulah yang menjadi dasar dari aliran waterleiding dari kaki Gunung Singgalang hingga ke jantungnya Fort de Kock.
Editor : Eriandi