Cagar Budaya: RS Mata dr Yap, Semula Het Prinses Juliana Gasthuis te Djokjakarta.

×

Cagar Budaya: RS Mata dr Yap, Semula Het Prinses Juliana Gasthuis te Djokjakarta.

Bagikan berita
Cagar Budaya: RS Mata dr Yap, Semula Het Prinses Juliana Gasthuis te Djokjakarta.
Cagar Budaya: RS Mata dr Yap, Semula Het Prinses Juliana Gasthuis te Djokjakarta.

De Locomotif 13-04-1921 memberitakan, dr Yap Hong Tjoen, meletakkan jabatan sebagai kepala rumah sakit di Bandung. Di sana ia digantikan dr Wijn dan selanjutnya dokter berkacamata itu, fokus di Yogyakarta.

“Tuan Yap Hong Tjoen, setelah belajar di Universitas Leiden dari tahun 1911 sampai 1916 dan bekerja di "Lembaga untuk Pasien Mata" di Den Haag di bawah Dr. Hazewinkel dari 1916 sampai awal tahun ini, menerima gelar doktornya dalam bidang kedokteran di Leiden. Diserahkan kepada Gubernur Jenderal untuk diangkat sebagai dokter mata dalam pelayanan medis sipil, Dr. Yap Hong Tjoen pada tanggal 31 Maret kembali ke Hindia. Di sana pihak berwenang sekarang akan menugaskannya ke salah satu pusat populasi besar sebagai pangkalan, di mana ia berharap dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya di negara ini untuk memberi manfaat bagi masyarakat India, tanpa membedakan ras. Keinginannya adalah untuk membuka klinik di pusat populasi seperti itu di Hindia. Suatu panitia, yang dibentuk di negara ini dan terdiri dari Tuan-tuan G. "Vissering, W. C. Bonebakker dan H. J. Boelen di sini, P. Eschauzierte Den Haag dan W. Suermondt Rotterdam, berupaya mengumpulkan dana yang dibutuhkan untuk memulai sebuah klinik dalam skala kecil, yang mana jumlah sekitar f 25.000 dianggap cukup. Jumlah ini, yang juga disumbangkan oleh H.H. M.M. Ratu dan Ibu Suri melalui hadiah-hadiah penting, telah "dikumpulkan dalam jumlah besar. Suatu panitia akan dibentuk di Hindia Belanda yang akan bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengeluaran dana dan juga akan mengawasi klinik tersebut. Semoga Dr. Yap Hong Tjoen diberikan kesempatan untuk segera memulai pekerjaannya yang bermanfaat dan memberikan contoh yang baik untuk diikuti oleh sesama orang India. Masih banyak yang harus dilakukan di sana.,“ demikian Algemeen Handelsblad, Amsterdam, edisi 24-05-1919.

Museum

----------------------

Dr Yap Squere, saya sampai pula di sana. Deretan toko, lalu di ujung sana, terbaca jelas, Vorstenlandsch Blinden Insitituut. Berbelok ke kiri dan saya masuk museum. Di sana saya baca di dinding sebelah kiri sejarah singkat rumah sakit mata tersebut, Di sana ditulis, dr. Yap Hong Tjoen bersama beberapa warga keturunan Tionghoa dan keturunan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda mendirikan suatu perkumpulan yang diberi nama Centrale Vereeniging tot bevordering der Oogheelkunde in Nederlandsh-Indie (CVO) yang berkedudukan di Batavia. Berdasarkan kuasa yang diberikan oleh CVO, pada tahun 1923, dr. Yap Hong Tjoen mendirikan Rumah Sakit Mata dengan nama Prinses Juliana Gasthuis voor Oogglidjers dan diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Dr. Yap Hong Tjoen menjadi direktur Rumah Sakit dari tahun 1923-1948. Pada 1948, dr. Yap Kie Tiong, putera dr. Yap Hong Tjoen, kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya di Negeri Belanda dengan meraih gelar doktor di bidang mata. Kemudian pada tanggal 17 Juni 1949, dr. Yap Hong Tjoen menyerahkan kekuasaan penuh kepada dr. Yap Kie Tiong, mengenai segala sesuatunya yang berkaitan dengan CVO, Vorstenlandsch Blinden Instituut, dan Rumah Sakit Mata Dr. Yap. Setelah menyerahkan kuasa penuh kepada puteranya, dr. Yap Hong Tjoen meninggalkan Indonesia lalu berlayar ke Belanda. Ia meninggal di sana.

“ Dengan berduka tjita memberitahukan -kepada permili, sobat2 dan Sdr.2 handai taulan, bahwa pada hari Djumahat malam, tgl. 28 menghadan 29 November 1952 kita punja suami, papah dan papah-mertua jang tertjinta Dr. YAP HONG TJOEN dengan mendadak telah meninggal dunia dengan tenang dalam usia 67 tahun di Den Haag.” Ikan ini muncul di koran “De nieuwsgier". Batavia, 05-12-1952.

Langit mulai agak berat, mungkin akan hujan. Saya keluar dari museum dan kembali ke hotel, menikmati secangkir kopi hangat, sehangat hati orang Yogyakarta. Tapi, bagi saya menarik rumah sakit ketimbang museum, sebuah rumah sakit mata tua, jadi cagar budaya. Dokternya lengkap, koridor lega, ruangan pemeriksaan, selesa dan dokternya ramah. Lahan parkir lapang, namun, orang takkan tahu bagaimana maket ini dibuat Belanda zaman lampau, apalagi di bagian dalam, beberapa bangunan baru telah dibuat, atau yang lama dipermak, saya tidak tahu.

Terdengar suara memanggil nama pasien, seseorang berdiri di koridor yang panjang. Pasien lain tampak sedang memeriksa pandangannya, mungkin untuk membeli kacamata. Yang lain, megisi pormulir di meja kayu. Orang-orang saling diam. Saya menelusuri koridor, tak ada yang menyapa, kecuali satpam. Ia tersenyum. Dan saya pergi... (*)

Editor : Bambang Sulistyo
Bagikan

Berita Terkait
Terkini
pekanbaru