Kepala sekolah harus diberikan literasi tentang regulasi yang berkenaan dengan informasi, tapi yang paling penting mereka betul-betul bersih dalam mengelola keuangan. “Salah satu indikator keberhasilan penyelengaraan pendidikan adalah tingkat kemampuan lulusan sekolah (SMA/SMK/MA) bisa menembus PTN,” katanya.
Dinas Pendidikan Sumbar boleh dikatakan berhasil menyelenggarakan pendidikan setidaknya 2025 yang ditandai dengan tingginya angka prosentase lulusan SMA/SMK/MAN yang mendapat "tiket" masuk PTN lewat Jalur SNBP. “Sumbar tahun ini ranking 4 nasional dari SNBP,” katanya.
“Tantangan pengembangan pendidikan Kesenjangan antara daerah, kualitas pendidikan yang belum merata, kurangnya sumber daya, akses internet yang belum merata. Selain itu, ancaman budaya dan prilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang religius tampak nyata,” kata pensiunan pejabat Agam ini.

Sementara itu, sarjana sejarah lainnya yang sekarang jadi guru, Irwan Setiawan di tempat terpisah menyebutkan, sebaiknya pelaku di dunia pendidikan menengah belajar ke sekolah terbaik di Sumbar, tak perlu malu.
“Saya melihat elemen-elemen penilaian sekolah, penilaian kepala sekolah secara umum berusaha diamanakan dengan sebuah dokumen tertulis saja, tanpa melihat lebih dalam, tidak dengan analisa dan upaya mendalami oleh tim penilai sekolah atau tim penilai kinerja kepala sekolah,” katanya.
Padahal, kata pria yang bergiat dalam sejarah Kota Bukittinggi itu, dalam dunia pendidikan kerja abu-abu di atas kertas tentu tak ada gunanya selain hanya akan menambah sibuk printer bekerja mencetaknya. Bahkan ada anak yang tak belajar, tapi malah ikut ujian smester, seperti preman saja.Sisi lain yang ia sorot tentang pengembangan kompetensi dan minat siswa, mesti didukung oleh berbagai macam bidang ekskul. Tapi, dalam pelaksanaan dibatasi kalau peserta ekskul tidak mencapai 20 orang, maka honor pelatih tidak ada.
“Banyak PR yang membuat kita jalan di tempat. Tapi, tentu harus ada setidaknya ada yang dijadikan pilot projek oleh pemerintah Sumbar.”
Pendapat bagus semua, bagaimana tiap individu berpikir melihat sekolah di daerahnya. Mestikah Ranah Minang melahirkan orang terdidik untuk menjadi tokoh seperti zaman lampau atau sosok lain? Yang manapun, tak soal. Yang jadi soal: bagaimana mengapresiasi, minimal membuat listnya awal lalu mau apa setelahnya. Begini saja, kuliah dululah, bagaimana nanti, maka nanti pula dikaji. Tapi, pertanyaan besarnya akan dibiarkan remaja tak disa kuliah karena miskin? (bersambung)
Editor : Bambang Sulistyo