Dari 100 penduduk Minang produktif, punya tanggungan 46-47 orang belum produktif dan tidak produktif. Rasio ketergantungannya nyaris 50 persen atau 46,43 persen. Makanya, jika lebaran, banyak kawan saya yang pening, “Paniang den, manampiak layang-layang,” katanya. Itu salah satu sebab rupanya. Sekaligus ini membuktikan ikatan kekeluargaan matriakat jauh lebih kuat.
Dan, 10,77 persen dari total penduduk Minangkabau, mamasuki fase penuaan penduduk atau ageing population. Berada di posisi yang sama, suku Bali, Jawa, Madura dan Sunda. Sayang BPS tidak menyebut, berapa persen sesungguhnya orang Minang yang tinggal di Sumbar. Sementara untuk Batak disebut 84,64 persen warga Batak tinggal di Sumut, sisanya merantau yaitu 15,36 persen merantau. Rinciannya 8,98 merantau ke semua provinsi di Sumatera, sisanya ke pulau lain, seperti terinci di bagian atas.
BPS juga mendeteksi sepuluh bahasa daerah meliputi bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Minangkabau, Batak, Banjar, Bali, Bugis dan Sasak.
Data Long Form SP2020 mencatat 694 bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dilingkungan keluarga maupun tetangga/masyarakat dari 718 bahasa yang terpetakandi Indonesia. Sebanyak 74,77 persen penduduk Indonesia berumur 5 tahun ke atasmenggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga dan 72,78persen menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi di lingkungan tetangga/masyarakat. Jika dilihat menurut umur, semakin muda umur penduduk, semakin menurun pula penggunaan bahasa daerahnya. Penduduk umur 5-14 tahun merupakan kelompok dengan persentase penutur bahasa daerah yang paling rendah, sementara penduduk umur 75 tahun ke atas merupakan kelompok penduduk dengan persentase yang paling tinggi dalam menggunakan bahasa daerah
Kenapa bisa di posisi 18 persen?
Hasil temuan BPS, 18,02 persen warga Batak adalah sarjana dan Minangkabau 18 persen. Suku lain, menyusul setelah itu. Kenapa bisa Minangkabau berada di posisi kedua memiliki sarjana di Indonesia? Kenapa tidak nomor satu? “Awak ka awak se ma lo bisa,” kata kawan saya. Sangkaan saya ini disebabkan oleh kamampuan untuk menyekolahkan anak. Kedua karena kemauan, ketiga karena menjadi inti dari kerisauan satu keluarga, anaknya tidak sekolah, meski banyak yang benar-benar tidak mampu. Di sinilah peran mesti diambil pemerintah, lembaga BAZ dan orang-orang kaya Minang atau Gebu Minang.Indikasi tidak mampu itu, ditemukan sebenarnya oleh BPS, dari 100 penduduk Minangkabau, menanggung hampir setengah biaya kehidupan 46 persen dunsanaknya. Jadi ketergantungan yang tinggi pada keluarga itu, menyebabkan munculnya “jalan buntu.” Tapi, ketergantungan itu, juga diam-diam membuka peluang untuk sekolah.
“Sikolah lah kalian, bia mamak mambayia uang sikolah jo uang kost,” ada yang begitu. Makanya, banyak kawan saya yang berkata, “ko ka mangirim untuak kamanakan alun ado lai.” Ketergantungan itu, untuk yang sudah tidak produktif atau nan gaek-gaek dan yang belum produktif, anak-anak dan remaja. Remaja, tentu saja karena masih sekolah atau sudah tamat, tapi tak dapat kerja. Jadi, lapangan kerja sulit.
Bagaimana lapangan kerja takkan sulit, basic agraris, tapi hidup di lingkungan masyarakat industri. Mau kemana ijazah akan dihonyokan. Pemerintah juga tidak membuka industri. Yang ada hanya Semen Padang, itupun karyawannya sudah berlebih pula. Saya berkali-kali menulis, potensi bumi Minangkabau sangat banyak tapi tidak digarap, karena dua sebab, buntu karena malas, buntu karena susahnya minta izin pemerintah. Tambang misalnya, diurus izin, habis waktu, habis uang, habis energi, izin tak dapat. Padahal, tambang itu, ladang uang.
Dalam serba keterbatasan itu, dalam pertumbuhan ekonomi yang tak pernah rata-rata 6 persen sejak Orde Baru itu, maka Sumbar/ Suku Minangkabau, mesti terus menyekolahkan anaknya sampai ke luar negeri. Jadi ketiga, faktor bisa sekolah itu, karena kemauan sebuah rumah tangga tanpa ikut serta pemerintah. Beberapa tahun silam, saya di Singgalang mencarikan beasiswa untuk ratusan anak yang belajar kemana-mana termasuk ke Havana, Cuba. Juga ke Cekoslavaia. Di dalam negeri jangan disebut. Faktor berikut, karena senior. Imbauan senior yang sudah kuliah, memicu motivasi si anak untuk kuliah, setamat SLTA. Mereka berani, makan indomi saja, asal bisa masuk kampus. Sebab lain, karena kaya, karena pintar cari beasiswa. Dan entah apalagi, panek saya menderet-deret sebab-sebab itu.
Editor : Bambang Sulistyo